SAMBUTAN

Selamat datang di
http://460033.blogspot.com
SARANA INTERAKTIF BERBAGI! http://460033.blogspot.com sangat mengharap sumbangan berbagai artikel dari para Pembaca yang budiman. Kesempurnaan hanyalah milik-Nya makadariitu http://460033.blogspot.com sangat mengharap kritik dan saran dari Pembaca. Rachmat W. P.

Selasa, 31 Maret 2009

Bedug Kyai Bagelen di Masjid Jami’ Purworejo

Bedug Kyai Bagelen di Masjid Jami’ Purworejo
Di sebelah barat alun-alun besar Kabupaten Purworejo, suatu ketika berdirilah masjid besar dan agung yang merupakan kebanggaan seluruh umat Islam Purworejo hingga kini. Masjid yang diberi nama Masjid Agung Kabupaten Purworejo ini menempati tanah wakaf seluas kurang lebih 70 x 80 m2 dengan ukuran 21 x 22 m2 ditambah gandok berukuran ± 10 x 21 m2. Menurut sejarah, setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825 – 1830), Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengangkat pemimpin dari kalangan pribumi untuk memerintah wilayah Tanah Bagelen (Purworejo sekarang). Sebagai Bupati kemudian diangkat Kangjeng Raden Tumenggung Cokronegoro I dan jabatan pepatih (pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo. Pada masa pemerintahan Bupati Cokronegoro I ini mulai dibangun beberapa gedung (gedhung) terutama untuk memperlancar kegiatan-kegiatan pemerintahan. Di sebelah utara alum-alun didirikan Gedung Kabupaten beserta Pendhapa Agengnya untuk tempat bersidang. Gedhung yang terdiri dari dua buah bangunan ini disebut paseban, yaitu tempat para abdi Kabupaten, Lurah dan rakyat menungg panggilan menghadap ke Kabupaten.

Beberapa saat kemudian atas perintah Bupati Cokro I dibangun pula Masjid Agung Kabupaten Purworejo untuk tempat ibadah. Masjid ini berdasarkan tulisan dalam Prasasti yang ditempelkan di atas pintu utamanya, selesai di bangun pada tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi. Ada beberapa alasan mengapa letak bangunan masjid harus berada di kota Purworejo. Salah satu alasannya bahwa Kota Purworejo terletak di daerah yang dikelilingi oleh perbukitan, yiatu bukit Menoreh di sebelah timur, bukit Geger Menjangan di sebelah utara, dan Gunung Pupur di sebelah Barat. Alasan lainnya bahwa Kota Purworejo berada diantara dua aliran sungai, yaitu Kali Bogowonto dan Kali Jali dengan latar belakang Gunung Sumbing. Dalam ilmu kalang (Kawruh Kalang) yaitu ilmu kejawen yang mempelajari pengetahuan masalah perencanaan dan pembuatan bangunan jawa, letak tanah pada keadaan demikian disebut “Tanah Sungsang Buwana” atau “Kawula Katubing Kala”. Orang-orang Tanah Bagelen ketika itu percaya bahwa apabila sebuah bangunan didirikan pada letak Tanah Sungsang Buwana, maka orang-orang yang mendiami atau menggunakannya akan disegani dan dicintai oleh banyak orang atau menjadi kepercayaan para pembesar.

Setelah masjid dibangun lalu muncul ide baru dari Bupati Cokronegoro I untuk melengkapinya dengan sebuah Bedug yang harus dibuat istimewa sehingga menjadi tanda peringatan di kemudian hari. Keberadaan Bedug menurut Bupati Cokronegoro I sangat diperlukan adik sang Bupati yaitu Mas Tumenggung Prawironegoro Wedana Bragolan, disarankan agar bahan Bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon Jati. Bahan baku dari pohon jati tadi sesungguhnya berasal dari Dukuh Pendowo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Dari cerita lisan yang turun temurun, pohon-pohon jati yang terdapat di Dukuh Pendowo telah berusia ratusan tahun dengan ukuran besar-besar bahkan ada yang bercabang lima. Dalam ilmu kejawen, pohon-pohon jati besar bercabang lima yang disebut Pendowo mengandung sifat perkasa dan berwibawa. Pembuatan Bedug yang dikenal sebagai Bedug Kyai Bagelen (Bedug Pendhawa) ini diperkirakan dilakukan pada tahun jawa 1762 atau tahun 1834 masehi bersamaan dengan selesainya pendirian bangunan Masjid Agung. Cara pembuatan bedug ini dimulai dengan menghaluskan permukaan bongkot kayu jati, kemudian bagian tengahnya dilubangi hingga tembus dari ujung ke ujung (growong) dan dihaluskan kembali.

Sebagai penutup bedug, mula-mula digunakan bahan dari kulit banteng. Akan tetapi, setelah 102 tahun kemudian (3 mei 1936) kulit bedug bagian belakang mengalami kerusakan sehingga diganti dengan kulit sapi ongale (benggala) dan sapi pemacek yang berasal dari Desa Winong, Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo. Sedangkan di dalam Bedug Kyai Bagelen di pasang sebuah gong besar yang berfungsi untuk menambah getaran dan bunyi (anggreng). Ada persoalan baru ketika bedug selesai dibuat, yaitu persoalan pemindahan dari Dukuh Pendowo (Jenar) ke Kota Purworejo, seperti diketahui, jarak Pendowo - Purworejo cukup jauh yaitu sekitar 9 kilometer dengan kondisi jalan yang sangat sukar dilalui. Untuk mengatasi persoalan ini tentunya dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kelebihan, kebijaksanaan dan keberanian di dalam menjalankan tugas. Bupati Cokronegoro I atas usul adiknya Raden Tumenggung Prawironegoro mengangkat Kyai Haji Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa Solotiyang, Kecamatan Loano untuk mengepalai proyek pemindahan Bedug Kyai Bagelan. Atas kepemimpinan Bedug sang Kyai, saat itu oleh para pekerja diangkat secara beramai-ramai diiringi bunyi gamelan lengkap dengan penari tayub yang telah menanti di setiap pos perhentian. Akhirnya setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Bedug Kyai Bagelen tiba di Masjid Agung Kabupaten Purworejo. Kini, Bedug kyai Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi Masjid. Barang siapa ingin mendengar suaranya, datanglah pada saat Ashar, Maghrib, Isya, Subuh dan menjelang shalat Jum’at. Di samping itu, pada setiap saat menjelang sholat Sunat Idul Fitri dan Idul Adha, acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam dan memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai bagelen selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.

Data-data teknis Bedug kyai Bagelen:

- Panjang rata-rata = 292 centimeter

- Garis tengah bagian depan = 194 centimeter

- Garis tengah bagian belakang = 180 centimeter

- Keliling bagian depan = 601 centimeter

http://www.potlot-adventure.com/2009/03/30/bedug-kyai-bagelen-di-masjid-jami-purworejo/

- Keliling bagian belakang = 564 centimeter

Sejarah Purworejo

Sejarah Purworejo
Posted in budaya by eddyprasetyo on the January 13, 2008

Kabupaten Purworejo memiliki sejarah yang sangat tua, dimulai dari zaman Megalitik disinyalir telah ada kehidupan dengan komunitas pertanian yang teratur, terbukti dengan sejumlah peninggalan sejarah di masa MEGALITH berupa MENHIR Batu Tegak di sejumlah wilayah Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Ketika zaman Hindu Klasik, kawasan Tanah Bagelen berperan besar dalam perjalanan sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu). Tokoh Sri Maharaja Balitung Watukoro dikenal sebagai Maharaja Mataram Kuno terbesar, dengan wilayah kekuasaan meliputi : Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa Wilayah Luar Jawa.

Prof. Purbacaraka menyatakan bahwa Sri Maharaja Balitung Watukoro berasal dari daerah Bagelen. Indikasi ini tercermin pada nama “Watukoro” yang menjadi nama sebuah Sungai Besar, Sungai ini disebut juga dengan nama Sungai Bogowonto. Disebut demikian, mengingat pada masa itu di tepian sungai sering terlihat pendeta (Begawan).


Petilasan suci berupa Lingga, Yoni dan Stupa tempat para begawan melakukan upacara dapat dilihat di wilayah Kelurahan Baledono, Kecamatan Loano dan Bagelen. Desa Watukoro sendiri terdapat di muara sungai Bogowonto dan masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi.

Pengembangan Agama Islam di wilayah Purworejo, dilakukan oleh Ki Cakrajaya seorang tukang sadap nira dari Bagelen, murid dari Sunan Kalijogo. Ki Cakrajaya lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng. Peninggalan Sunan Geseng banyak terdapat di Bagelen dan Loano.
Kenthol Bagelen yang merupakan Pasukan Andalan Sutawijaya, tokoh yang kemudian naik tahta menjadi Panembahan Senopati, merupakan dasar pembentukan Kerajaan Islam Mataram. Pada periode berikutnya ketika Sultan Agung berkuasa di Mataram, pasukan dari Bagelen inilah yang memberikan andil besar dalam penyerangan ke Batavia dan termasuk pasukan inti Mataram.

Akibat dari Perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Kerajaan Jawa menjadi 2, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, tanah Bagelen-pun menerima dampaknya, dimana tanah Bagelen dibagi menjadi 2 bagian untuk Yogyakarta dan Surakarta, tapi karena tidak jelasnya batas-batas pembagian tersebut, mengakibatkan sengketa yang berkepanjangan.
Masa Perang Diponegoro meletus (1825 - 1830) tanah Bagelen menjadi basis perlawanan Pangeran Diponegoro. Melihat adanya pemberontakan oleh Pangeran Diponegoro, maka Jenderal De Kock meminta bantuan pasukan dari Kerajaan Surakarta.

Menghadapi ini, Belanda yang dipimpin oleh panglimanya Kolonel Cleerens membangun markas besar garnisun di Kedongkebo tepi Sungai Bogowonto. Perang hebat tidak bisa dihindarkan, Belanda yang dibantu pasukan dari Kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayuda beserta Ngabehi Resodiwiryo berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh pasukan laskar Rakyat Bagelen

Paska Perang Diponegoro, Tanah Bagelen dan Tanah Banyumas diminta paksa oleh Belanda. Kemudian Belanda menghadiahkan kepada Ngabehi Resodiwiryo yang berjasa membantu melawan pemberontak, menjadi Penguasa Tanggung dengan gelar Tumenggung Cakrajaya yang selanjutnya diangkat menjadi Bupati (Regent) Kabupaten Purworejo dengan Gelar Cokronegoro. Pelantikan dilakukan di Kedungkebo, markas garnisun Belanda dan yang melantik adalah Kolonel Cleerens.

Wilayah Kabupaten Purworejo ketika itu adalah seluas 263 Pal persegi atau sekitar 597 Km persegi, meliputi Kawasan Timur Sungai Jali. Sedangkan wilayah seluas 306 Km persegi di Barat Sungai Jali, merupakan wilayah Kabupaten Semawung (Kutoarjo) dan dipimpin oleh Bupati (Regent) Sawunggaling. Pada perkembangan lebih lanjut, Kedongkebo yang merupakan basis Militer Belanda digabung dengan Brengkelan dan menjadi Purworejo. Sedangkan Tanah Bagelen oleh Pemerintah Kolonial Belanda dijadikan Karesidenan Bagelen dengan Ibu Kota Purworejo.

Wilayah Karesidenan Bagelem meliputi, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Kutowinangun, Kabupaten Remo Jatinegara (Karanganyar) dan Kabupaten Urut Sewo atau Kabupaten Ledok atau Kabupaten Wonosobo.

Residen Bagelen bertempat tinggal di Bangunan yang sekarang menjadi Kantor Pemerintah Daerah Purworejo atau lebih dikenal dengan nama Kantor OTONOM yang lokasinya di bagian Selatan Alun-alun Purworejo.

http://dederusmono.blogspot.com/2009/03/sejarah-kota-purworejo.html

Sejarah Bruderan Purwokerto

Sejarah Bruderan Purwokerto
Pada bulan September 1931, setelah lima bruder baru datang dari Negeri Belanda, Bruder Karitas sempat membuka biara mereka yang kedua di Indonesia, yakni di Purwokerto. Komunitas terdiri dari tiga bruder yang baru dan dua orang yang telah berpengalaman dua tahun di Purwoerjo, antara lain Br. Micheas sebagai kepala biara. Untuk tempat tinggal sementara disewa sebuah rumah di pojok jalan Gereja dan jalan Sekolah (sekarang jl. Jend. Gatot Subroto). Mgr. Visser sudah mendirikan sebuah sekolah dan asrama, yang disediakan cuma-Cuma untuk pekerjaan para Bruder Karitas. Dan dalam bulan Oktober mereka membuka HCS dengan asrama, yang disusul oleh HIS. Kedua sekolah itu tidak mendapat subsidi. Di Purwokerto sudah terdapat HCS Negeri, sebuah HCS Protestan yang bersubsidi dan beberapa sekolah Tionghoa lain lagi. Maka HCS dan asrama Bruderan tidak menarik banyak murid karena dirasa terlalu mahal. Akhirnya asrama terpaksa ditutup pada tahun 1939. Untuk mendapat kontak dengan rakyat, pada tahun 1932 dibuka kursus untuk orang dewasa dengan mata pelajaran bahasa Belanda, bahasa Inggris dan Tata Buku. Kemudian didirikan pula sebuah perkumpulan kepanduan untuk anak-anak sekolah Bruderan. Akhirnya tahun 1932, Bruder Karitas membeli sebuah rumah yang masih agak baru. Lalu komunitas tukar rumah dengan bekas penghuni. Para bruder merasa geli melihat cara kerja para kuli yang memindahkan perabot rumah yang diiringi teriakan-teriakan tetapi dapat bekerja dengan cukup efisien. Rumah itu masih merupakan bagian muka Bruderan sekarang. Tahun berikutnya, rumah itu ditambah dengan beberapa kamar untuk Bruder-bruder yang baru dating. Tahun 1937 dibeli sebidang tanah seluas 2500 M persegi di sebelah Barat rumah biara, lalu di tanah itu didirikan sekolah dengan aula untuk HCS. Kemudian HIS pindah ke gedung di sebelah aula Selatan Gereja (yang dipakai selanjutnya untuk SD Bruderan dan sudah diambil alih oleh keuskupan pada masa kini). Tahun berikutnya, Mgr. Visser mendirikan sebuah gedung asrama lagi yakni di halaman HCS, lalu menghadiahkannya kepada Bruder Karitas. Setelah asrama dibubarkan, pada tahun 1939, di gedung itu dibuka sebuah MULO dan sebuah Schakelschoo. Kemudian dibeli sebidang tanah sawah seluas 6900 M persegi sebagai lapangan olehraga (tempat SMU Bruderan sekarang) dan juga untuk mendirikan gedung MULO di situ. Sayangnya rencana belum dapat diwujudkan karena kedatangan tentara Jepang.







Pada tanggal 13 April 1942 para Bruder Karitas mendapat perintah dari komandan Jepang untuk mengosongkan dan membersihkan semua ruang sekolah. Dan itu harus selesai sebelum jam 12 siang. Di samping itu ada perintah menghadiri rapat yang akan diadakan di karesidenan pada jam 12 siang pula. Maka bruder-bruder bekerja keras pagi itu. Lalu sebelum makan mereka pergi ke kantor karesidenan. Mereka mengira hanya untuk mendengarkan beberapa penjelasan saja, tetapi yang disuruh dating ke "rapat" itu hampir semua orang laki-laki Eripa dari kota Purwokerto dan sekitarnya, dan mereka terus disuruh berbaris bersama tentara Jepang ke sekolah Bruderan untuk diinternir (ditawan) di lokasi sekolah itu. Rupanya itulah maksudnya para bruder diperintahkan untuk mengosongkan ruangan kelas. Dengan demikian, para bruder "menikmati" hasil jerih payah kerjabakti mereka sendiri. Pada bulan Desember mereka dipindahkan ke penjara di Pekalongan, lalu ke kamp di Ngawi dan akhirnya ke tangsi di Cimahi. Di sana mereka tinggal sampai akhir perang.



Setelah Proklamasi Kemerdekaan Br. Alfonso mulai membuka H .I .S lagi. Waktu clash pertama, Juni 1947, Purwokerto diduduki oleh tentara Belanda. Mgr. Visser segera pergi ke sana untuk mengetahui keadaan. Kotanya ternyata sepi, sebab sebagian besar dari penduduk pribumi telah lari ke pegunungan sebagian rumah Bruder dan sekolah telah dibakar. Dengan bantuan Br. Alfonso dan beberapa guru Tionghoa, Mgr. Visser dapat mendirikan sebuah sekolah di bekas gedung H.I.S. Muridnya kebanyakan anak Tionghoa dan atas permintaan orang tua bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar. Memang permintaan itu ada hubungannya dengan situasi politik watu itu. Kemudian bersama dengan Pak Beter dan Pak Rasikun, Mgr. Visser membuka juga beberapa sekolah untuk anak-anak Jawa. Untuk dapat menghidupkan kembali sekolah-sekolah misi, ia minta beberapa tenaga Bruder kepada pengurus Bruder Karitas di negeri Belanda. Walaupun mula-mula dikemukakan beberapa keberatan, namun akhirnya ditentukan bahwa Br. Micheas dan Br. Josserandus akan kembali ke Indonesia. Pada tanggal 2 Desember 1947 mereka sampai di Purwokerto dan untuk sementara waktu menginap di pasturan. Segera diadakan rencana kerja. Br. Micheas akan mengepalai SD dan Br. Josserandus akan membuka SMP. Kedua sekolah akan menjadi "Sekolah Pool" maksudnya akan mendapat kedudukan seperti sekolah negeri, namun menjadi urusan misi.

Kebetulan tentara Belanda telah meninggalkan gedung bekas H.I.S. Negeri di dekat alon-alon, maka gedung itu dapat digunakan sebagai tempat sementara untuk SMP Bruderan. Setelah dicari bangku dan beberapa peralatan lain, pada tanggal 7 Desember 1947 sekolah dimulai. Tidak lama kemudian sekolah mendapat tambahan guru dan terjadilah banjir murid, sampai ratusan anak tidak dapat diterima karena kurang tempat. Untunglah pada waktu itu tentara Belanda meninggalkan biara dan gedung HCS. Br. Josserandus segera bertindak: anak-anak yang tidak tertampung dulu / dicatat dan pada tanggal 2 Pebruari 1948 diadakan test. Anak-anak yang lulus test lalu ditempatkan di gedung H.C.S. tersebut, bersama-sama mereka yang pindah dari gedung sekolah yang di dekat alon-alon.

Pada tanggal 13 Pebruari 1948 tibalah beberapa suster Ursulin yang sudah lama dinanti-nantikan dan sedikit demi sedikit mereka mengambil alih anak puteri dari SMP Bruderan.

Tahun 1949 komunitas mendapat tambahan lima Bruder, yakni Br Aetius, Br. Gabinus, Br. Heradus, Br. Aderitus dan Br. Gennardus. Tetapi dua diantara mereka hanya untuk sementara waktu, karena Br. Heradus dan Br. Gabinus tidak lama kemudian ke Purworejo.

Pada tahun 1950 status "Pool" untuk semua sekolah ditiadakan oleh pemerintah Indonesia. Kebanyakan dari bekas sekolah Pool kemudian mendapat subsidi, antara lain semua sekolah Bruderan yang ada pada waktu itu. Semua itu berkat usaha Br. Micheas. Para guru bebas memilih: tetap bekerja pada sekolah-sekolah Bruderan atau pindah menjadi guru sekolah negeri. Di SMP hal ini menimbulkan kesukaran karena cukup banyak guru memilih menjadi guru di sekolah negeri dan dipindahkan oleh inspeksi. Tetapi kesulitan ini juga dapat diatasi.

Atas permintaan banyak orang tua, pada tahun 1951 SMA Bruderan dimulai dibawah pimpinan Br. Josserandus. Pada awal Desember 1951 semua Bruder Karitas (Belanda) di Indonesia memilih kewarganegaraan Indonesia, kecuali mereka yang tidak berhak untuk memilih karena belum cukup lama tinggal di Indonesia.

Dalam tahun 1952 Br. Gabinus pindah kembali ke Purwokerto dan diangkat sebagai kepala misi merangkap kepala biara Purwokerto. Di samping segala kesibukan ia masih menyempatkan diri untuk mengajar di SMP. Br. Micheas pindah ke Purworejo untuk menjadi sekretaris Yayasan Pius. Yayasan itu sesuatu badan yang mengurus segala hubungan semua sekolah Suster dan Bruder yang bersubsidi di wilayah vikariat Purwokerto dengan pemerintah.

Tanggal 15 Oktober 1953 SMA Bruderan mendapat beslit subsidi dari inspeksi. Masih dalam tahun 1953 ini didirikan sebuah perkumpulan untuk anak Tionghoa oleh Br. Aderitus dan diadakan sebuah kursus bahasa Inggris untuk dewasa oleh Br. Josserandus, sedangkan Br. Aetius menyelesaikan penyusunan kamus bahasa Jerman-Indonesia (yang akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Erlangga-Jakarta). Kamus itu ternyata mengalami cetak ulang terus. Berhubung dengan penggabungan Tarekat Bruder Sihing Widi maka pada tanggal 16 Juni 1953 Br. Josef Dwijawiyata pindah ke Purwokerto.

Sebulan sesudahnya Br. Aderitus pindah ke Purworejo untuk menjadi kepala SMP. Br. Genardus menggantikan sebagai kepala SMP di Purwokerto. Tugas Br. Gennardus kemudian diganti oleh Br. Aquinus. Bulan Juli 1955 mulai membangun gedung SMA Bruderan. Sejak dimulainya SMA, siswanya belajar dengan menumpang di gedung SD Bruderan dan bahkan terpaksa menempati dua ruang (antara lain kamar makan) di biara.

Dalam bulan Juli 1955 itu juga di biara, yang sudah diperluas ini dibuka novisiat Bruder Karitas pertama kalinya untuk pemuda Indonesia. Ada tiga orang postulan yang pertama kali masuk Tarekat Bruder Karitas, yang satu tahun kemudian menerima jubah dan diberi nama biara Br. Bernardius, Br. Fererius dan Br. Sebastianus. Lima tahun lamanya novisiat bertempat di Purwokerto, lalu dipindahkan ke Purworejo pada tahun 1960.

Oleh karena murid SD Bruderan sudah terlalu banyak, maka pada tahun 1955 dibuka SD lagi, yaitu SD Karitas. Untuk SD ini tahun 1958 didirikan gedung baru di Kejawar, yang termasuk wilayah paroki Purwokerto Timur.

Pada tanggal 24 November 1957 Tarekat Bruder Karitas memperingati 150 tahun berdirinya oleh Rama Petrus Yosef Triest di kota Gent Belgia. Mgr Schoemaker mempersembahkan misa pontifikal di halaman SMP. Selain anak-anak sekolah banyak orang datang menghadiri misa itu. Banyak orang yang menyaksikan sandiwara dan lain-lain untuk memeriahkan perayaan itu.

Berhubung dengan adanya ketentuan "Gaya Baru" untuk SMA, maka setiap sekolah harus mempunyai empat jurusan. Oleh sebab itu pada tahun 1962 gedung SMA Bruderan diperluas dan menjadi bangunan yang bertingkat dua. Dalam sekolah ini Br. Aetius memainkan peranan yang penting, tetapi pada tahun 1963 ia harus menghentikan pekerjaannya di sana karena alasan kesehatan dan terpaksa pulang ke negeri Belanda. Meskipun sering ada bermacam-macam kesulitan, namun karya pendidikan di sekolah-sekolah di Purwokerto maju terus, sehingga perlu memperluas gedung lagi. Pada tahun 1978 SMP menambah ruang lagi, dan tahun 1979 SMA juga menambah ruangan sesuai dengan tuntunan inspeksi.

Pada tahun 1985, dibuka TK Karitas di Kejawar yang memakai ruang di SD Karitas. Tetapi pada tahun 1987 telah dibuat gedung bertingkat untuk TK Karitas itu.

Semoga, dengan pertolongan Tuhan, usaha para Bruder Karitas dan rekan-rekan kerjanya berkembang dengan baik dan berlimpah-limpah demi Kerajaan Allah serta Nusa dan Bangsa Indonesia.
http://bruderan-purwokerto.blogspot.com/2009/03/sejarah-bruderan-purwokerto_18.html

Sejarah Banyumas

Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum”at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990. Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT). Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya. Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap. Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII. Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II. Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya. 1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda. 2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma. 3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya. 4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas. Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat. Siapakah Raden Joko Kahiman itu ? R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan : a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri. b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon. c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya. Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA. Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” artinya tahun 1582. Bila diartikan dengan kalimat adalah “KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN”. PARA ADIPATI DAN BUPATI SEMENJAK BERDIRINYA KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1582 1. R. Joko Kahiman, Adipati Warga Utama II 2. R. Ngabei Mertasura (1560) 3. R. Ngabei Mertasura II (Ngabei Kalidethuk) (1561 -1620) 4. R. Ngabei Mertayuda I (Ngabei Bawang) (1620 - 1650) 5. R. Tumenggung Mertayuda II (R.T. Seda Masjid, R.T. Yudanegara I) Tahun 1650 - 1705 6. R. Tumenggung Suradipura (1705 -1707) 7. R. Tumenggung Yudanegara II (R.T. Seda Pendapa) Tahun 1707 -1743. 8. R. Tumenggung Reksapraja (1742 -1749) 9. R. Tumenggung Yudanegara III (1755) kemudian diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Danureja I. 10. R. Tumenggung Yudanegara IV (1745 - 1780) 11. R.T. Tejakusuma, Tumenggung Kemong (1780 -1788) 12. R. Tumenggung Yudanegara V (1788 - 1816) 13. Kasepuhan : R. Adipati Cokronegara (1816 -1830) Kanoman : R. Adipati Brotodiningrat (R.T. Martadireja) 14. R.T. Martadireja II (1830 -1832) kemudian pindah ke Purwokerto (Ajibarang). 15. R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864) 16. R. Adipati Cokronegara II (1864 -1879) 17. Kanjeng Pangeran Arya Martadireja II (1879 -1913) 18. KPAA Gandasubrata (1913 - 1933) 19. RAA. Sujiman Gandasubrata (1933 - 1950) 20. R. Moh. Kabul Purwodireja (1950 - 1953) 21. R. Budiman (1953 -1957) 22. M. Mirun Prawiradireja (30 - 01 - 1957 / 15 - 12 - 1957) 23. R. Bayi Nuntoro (15 - 12 - 1957 / 1960) 24. R. Subagio (1960 -1966) 25. Letkol Inf. Sukarno Agung (1966 -1971) 26. Kol. Inf. Poedjadi Jaringbandayuda (1971 -1978) 27. Kol. Inf. R.G. Rujito (1978 -1988) 28. Kol. Inf. H. Djoko Sudantoko (1988 - 1998) 29. Kol. Art. HM Aris Setiono, SH, S.IP (1998 - sekarang) diambil dari http://www.banyumas.go.id

Sabtu, 28 Maret 2009

Prasasti Kayu Ara Hiwang 1099 Tahun Lalu

Prasasti Kayu Ara Hiwang 1099 Tahun Lalu
Setelah ditetapkan Peraturan Daerah No 9/DPRD/1994 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Purworejo, maka Prasasti Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di Desa Boro Wetan, Kecamaan Banyuurip menjadi erat kaitannya dengan Kabupaten Purworejo.
Dalam Bab III, Pasal 3 Perda itu disebutkan: "Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Purworejo adalah tanggal 5 Paro Gelap, hari Senin Pahing, Warukung Bulan Asuji 832 Saka, yang bertepatan tanggal 5 Oktober 901, berdasarkan Prasasti Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di Desa Boro Wetan, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Daerah Tingkat II Purworejo".

Sedang maksud dan tujuan menetapkaan Hari Jadi sesuai Bab II, pasal 2 ditinjau dari aspek formal, aspek sosiokultural dan aspek historis. Aspek formal untuk memberikan kepastian hukum tentang hari jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Purworejo. Sedang aspek sosiokultural untuk memberikan inspirasi dan motivasi bagi seluruh warga masyarakat di Kabupaten Daerah Tingkat II Purworejo dalam partisipasinya mendukung pembangunan daerah, dengan tetap memelihara nilai-nilai luhur budaya, semangat nasionalisme dan patriotisme serta jati diri daerah.

Sementara aspek historis untuk menuliskan sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Purworejo sebagai sejarah lokal yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga secara langsung maupun tidak langsung menjadi sumber pengkajian sejarah nasional.

Prasasti Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di bawah ponon sono, di tepi sungai Bogowonto Desa Boro Wetan sejak tahun 1890 disimpan di Musium Pusat Jakarta. Dalam prasasti tersebut memuat pematokan, tanah "Sima" (tanah perdikan atau tanah bebas pajak) untuk Desa Kayu Ara Hiwang yang diberikan oleh Rakai Wanua Poh Sala Putra Ratu Bajra pada tanggal 5 paro gelap tahun 832 Saka atau tanggal 5 Oktober tahun 901 Masehi.

Ratu Bajra adalah orang ke dua di Negara Mataram Kuno, yang mempunyai pangkat Rakyan Mahamantri Hino Sri Daksottama Bahunjrapratikpaksaya. Konon, pada awal abad ke 10 (832 Saka) atau tahun 901 Masehi pada zaman Mataram Kuno, wilayah Bumi Kayu Ara Hiwang mulai dibangun. Masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut dipimpin oleh Mpu Sanghrama Surandra, yang memprakarsai pembangunan tempat peribadatan. Untuk maksud itu mereka memohon restu pada Raja Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung.

Tetapi tatkala masyarakat Bumi Kayu Ara Hiwang mulai melaksanakan membangun daerah dan tempat peribadatan mendapat tantangan dari berbagai kelompok. Sehingga terjadi peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Mpu Sanghrama Surandra. Kemudian dalam Prasasti, Mpu Sanghrama Surandra disebut Rakyan Watu Tihang Mpu Sanghrama Surandra.

Atas keberhasilan membangun wilayah serta membangun tempat peribadatan, Raja Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung merasa bangga dan berkenan memberikan penghargaan sebagai Bumi "Sima" atau tanah bebas pajak.

Ternyata rencana Raja Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung untuk hadir di Bumi Kayu Ara Hiwang tidak terlaksana. Sebab secara kebetulan waktu itu meletus kerusuhan di Bumi Pradaksina. Sang raja lebih mementingkan meredam daerah rusuh dan kemudian menugaskan Rakai Wanua ke Bumi Kayu Ara Hiwang. Penyerahan penghargaan dihadiri oleh sejumlah pejabat dari berbagai daerah dalam wilayah Kerajaan Mataram Kuno.

Peristiwa itu akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Purworejo, karena kebetulan Bumi Kayu Ara Hiwang terletak di Kabupaten Purworejo. Namun Ketua Tim Pencarian Hari Jadi Kabupaten Purworejo, Mangku Trisno mengartikan bahwa tanggal 5 Oktober 901 itu hanya merupakan bukti terbentuknya masyarakat budaya di wilayah Purworejo. (cr4)

Selasa, 24 Maret 2009

Tempat Tinggal Masyarakat Prasejarah

Tempat Tinggal Masyarakat Prasejarah

TEMPAT TINGGAL MASYARAKAT PRASEJARAH GUA BABI
DESA RANDU KECAMATAN MUARA UYA
ISI RIWAYAT SINGKAT

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Balai Arkeologi Banjarmasin berupa ekskavasi ( penggalian arkeologi ) dan penetapan terhadap situs prasejarah GUA BABI pada tanggal 19 Maret sampai dengan 1 April 1996 yang merupakan tindak lanjut dari survey prasejarah di Pegunungan Meratus pada tahun 1995. Situs ini terletak di desa Randu, Kecamatan Muara Uya, kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Hasil penelitian ini sangat penting bagi pemahaman proses budaya dan kronologi prasejarah setempat secara khusus dan Kalimantan secara umum, yang pernah terjadi sejak akhir Kala Plestosen dan awal Kala Holosen, sekitar 10.000 tahun yang silam. Ciri budaya yang berhasil diidentifikasi adalah pemanfaatan gua untuk pemukiman, dengan berbagai tinggalan yang terutama mengacu pada tingkatan tekhnologi mesolitik ( tekhnologi batu madya ) dan neolitik ( tekhnologi batu muda ).
Hasil-hasil penelitian adalah sebagai berikut :

Gua Babi merupakan salah satu gua dari sekitar 45 gua yang ada pada pegunungan karet di Desa Randu di kaki barat pegunungan Meratus. Morfologi gua merupakan gabungan antara gua ( cave ) dan ceruk paying ( rock shelter ) ceruk payung merupakan teras gua ( selanjutnya disebut teras gua ) berukuran panjang 25 meter ( utara selatan ) dan lebar 10 meter ( timur barat ). Penelitian tahun 1995/1996 difokuskan diteras gua berdasarkan temuan permukaan berupa konsentrasi sisa-sisa makanan berupa cangkang-cangkang kerang ( gastropoda ) = siput, dan pelecpoda = kerang ) dalam konteks erat dengan peralatan manusia prasejarah berupa alat-alat batu berbentuk serpih dan bilah, dan juga temuan gerabah polos maupun gerabah hias. Empat buah kotak ekskavasi telah dibuka selama penelitian dengan kedalaman antara 120 cm hingga 220 cm, ditujukan untuk mendapatkan data mengenai lapisan budaya ( cultural layers ), untuk penjelasan mengenai proses-proses budya.

Penggalian keempat kotak eksvasi menunjukkan hasil yang sangat signifikan. Pada kedalaman sekitar 20 cm dari permukaan teras, ditemukan lapisan arkeologis yang dicari, yaitu berupa tumpukan kerang Gastropoda yang bercampur dengan alat­alat batu dalam kuantitas sangat padat, dan juga pecahan-pecahan gerabah polos dan berhias, bercampur dengan berbagai sisa binatang darat ( terrestrial animal ) dan binatang air ( aquatic animal ). Lapisan budaya ini praktis mencakup seluruh teras gua, kecuali teras tertinggi di bagian selatan. Lapisan budaya dibagian tengah gua bercampur dengan abu dan arang sisa pembakaran, sehingga di interprestasikan bahwa pengolahan makanan dilakukan pada teras bagian tengah.

Temuan – temuan terdiri atas :
a. Alat-alat batu : Kuantitas padat, hingga kedalaman 150 cm. Tipologi yang diperoleh adalah alat serpih, bilah, serut, bor dan juga alat-alat massif berupa kapak perimbas.
Mayoritas alat-alat ini adalah alat-alat mesolitik, disertai pula oleh beberapa tekhnologi lebih tua dari tingkatan paleolitik. Dilain pihak, juga ditemukan beberapa buah batu guling ( pestle ), yang jelas merupakan salah satu unsur budaya neolitik.
b. Pecahan tembikar : sebagian besar merupakan tembikar berhias, dibuat dengan tatap Pelandas ( paddle and anvil ) yang di gabungkan dengan roda putar (wheel). Hiasan yang menonlol adalah hias tera tatap ( paddle marked ) yang terdiri dari berbagai motif hias yaitu tatap tali ( cord-mark ) dan jala. Hias tatap tali merupakan unsur hiasan yang sangat tua, yang sudah muncul sejak tingkatan neolitik.
c. Alat-alat tulang : ditemukan pada kedalaman 60-80 cm, berupa penusuk ( point ), atau sumpit, salah satu tulang dikerjakan, berasal dari tulang lengan monyet yang dengan sengaja dilubangi, mungkin dipakai sebagai perhiasan.
d. Sisa-sisa kerang : ditemukan sangat rapat dan padat pada lapisan arkeologis, berasal dari bangsa Gastropoda ( siput ) dan Pelecypoda ( kerang ).
e. Sisa-sisa binatang vertebrata : ditemukan sejak permukaan tanah hingga kedalaman 220 cm. Jenisnya berupa binatang kecil ( mikrofauna ). Identifikasi menunjukkan jenis-jenis : kerbau ( Bovidae ), rusa ( Cervidae ), babi hutan ( Sus barbatus ), kancil ( Tragulida ), beruang ( ursus sp ), landak ( Hystricidae ), tikus ( Maridae ), bulus ( Testudinidae ), biawak ( paranidae ), dan ular sanca ( phyton ). Analisis kontektual menunjukkan bahwa binatang-binatang ini juga merupakan bagian subsistensi dari penghuni Gua Babi.
f. Sisa-sisa manusia : merupakan fragmen-fragmen tengkorak, gigi, dan tangan. Secara lebih rinci temuan tersebut adalah pecahan tengkorak parietal dan occipital, gigi taring ( canin ) rahang atas ( maxilia ) kiri dan taring rahang bawah ( mandibula ) kanan serta bagian tulang tangan ( phalanx ). Sebagian dari pragmen tengkorak sudah mengalami proses fosollisasi cukup lanjut. Jenis taxon : Homo sapiens.

Secara kontekstual antara lapisan tanah, lapisan budaya, dan jenis-jenis temuan, diketahui bahwa Gua babi ini merupakan salah satu tempat hunian sementara ( settement) di masa prasejarah, dimana manusia pendukung budaya di gua ini masih melakukan pengumpulan makanan ( foot-gathering )dari sumber-sumber makanan disekitarnya. Sudah pasti, bahwa mereka mencari makanan utama dari siput dan kerang air tawar, yang di bawa kegua untuk dimasak dibagian tengah teras gua. Selain itu, temuan sisa-sisa binatang vertebrata yang cukup melimpah hingga kedalaman 150 cm, menunjukkan bahwa perburuan binatang juga menjadi salah satu model subsistensi manusia diteras gua, dan bahkan ditemukan kapan perimbas dan penusuk dari batu gamping kersikan ( silicified-limestones ) yang ujungnya terdapat warna merah. Analisis mengaskopis terhadap warna merah ini diduga berasal dari darah binatang buruan pada saat pengolahan makanan, yang kemudian terserap oleh batu gamping sebagai bahan dasar pembuatan kapak perimbas tersebut, dan kemudian mengering.

Pertanggalan ( dating ) absolut ) dari okupasi manusia di Gua Babi belum dapat dipastikan saat ini. Karena pertanggalan untuk lapisan budaya baru akan dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melalui metode pertanggalan Carbon-14 dengan memakai sampel arang dan kerang dari sisa pembakaran di bagian tengah gua. Meskipun demikian , berdasarkan analisis artefaktual dan kontektual, dapat dinyatakan bahwa gua ini sudah dihuni sejak tingkatan mesolitik hingga neolitik. Dalam konsepsi pengkerangkaan masa prasejarah secara umum di Indonesia, tingkatan tersebut sebanding dengan periode masa antara 1.000 hingga 4.000 tahun lalu. Penggalian oleh Balai Arkeologi Banjarmasin belum mencapai lapisan steril. Dengan unsure temuan kapak perimbas yang merupakan salah satu unsur temuan lebih tua, yaitu tingkatan paleolitik, maka ada keungkinan besar bahwa Gua Babi ini sudah di huni sejak Kala Plestosen.

Situs Gua Babi merupakan situs sangat penting bagi pemahaman pemanfaatan gua sebagai sarana tempat tinggal, yang selama ini belum pernah ditemukan di Kalimantan. Lebih dari itu, situs ini juga merupakan bahan telaah penting dalam penjelasan aspek migrasi yang terjadi pada periode Pasca-plestosen di Indonesia bagian tengah, terutama dalam kaitannya dengan gelombang migrasi dari utara ( Taiwan, Jepang dan Filipina ) dan penghunian gua-gua mesolitik di Silawesi. Oleh karena itu, Balai Arkeologi menganggap penting eksistensi situs Gua Babi, dan akan terus melakukan penelitian di Gua Babi untuk penjelasan masalah hunian gua, model subsitensi manusia pendukungnya, system penguburan gua maupun proses migrasi Pasca-Plestosen di Indonesia bagian tengah.

Dengan hasil penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa Gua Babi termasuk dalam kategori Benda Cagar Budaya ( BCB ), yang dilindungi oleh UU Nomor 5 tahun 1992, khususnya BAB I Pasal I.
http://www.tabalong.go.id/kumpulan-cerita-rakyat/tempat-tinggal-masyarakat-prasejarah/

MESJID PUSAKA

MESJID PUSAKA
MESJID PUSAKA BANUA LAWAS KECAMATAN BANUA LAWAS.
ISI RIWAYAT SINGKAT

Jauh sebelum tersentuhnya DAKWAH ISLAM di Banua Lawas ( Banua Usang istilah Suku Dayak ) telah berdiri sebuah Pesanggarahan yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Kepala Suku Dayak dan sekaligus dijadikan tempat melakukan musyawarah bagi suku Dayak.

Bangunan pesanggarahan tersebut berukuran 15 X 15 meter. Seluruh perabot pesang-garahan tersebut terbuat dari bambu ( Betung ) dinding palupuh dan atao daun rumbia -
( daun sagu ). Pada halaman pesanggarahan tersebut ditaruh 2 ( dua ) buah TAJAU besar dari porselin sebagai tempat penampungan air untuk memandikan anak-anak suku Dayak yang baru lahir.
( 2 buah Tajau tersebut masih utuh pada tempatnya ).

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya Kerajaan Banjar (Pa –eran Suriansyah) tahun 1510- 1620 M. Terbukalah jalan bagi juru Da’e untuk mengem-bangkan Agama Islam terutama juru Da’e Pulau Jawa ke Kalimantan, diantaranya Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman ( dua beradik ) berasal dari Solo, mereka masuk di Kalimantan melalui Kalimantan Bagian Utara ( Berunai ) hingga sampai di Banua Lawas ( Banua Usang ) Dakwah Agama Islam dari Khatib dayan dan Sulthan Abdurrahman ternyata dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar suku dayak Banua Usang.

Akhirnya suku dayak Banua Usang yang tidak dapat menerima Islam sebagai Agama mereka sepakat untuk hijrah kepedalaman Banua Usang dan sebagaiannya menetap di Barito Timur, ( Baguk, Tamiyang Layang dan sekitarnya ) pesanggrahan tersebut mereka tinggalkan tanpa diserahterimakan kepada keluarga mereka yang tinggal, namun hubung-an kekeluargaan tetap terjalin dengan baik tanpa menunjukkan rasa dendam dan tidak ber sahabat.

Bahkan sampai sekarang sering saja terjadi dari pihak-pihak suku dayak yang tinggal di pedalaman Habau dan Barito Timur berkunjung ke Banua Usang ( Banua Lawas ) untuk berziarah terhadap TAJAU yang mereka anggap sebagai keramat.

Sekitar tahun 1625 M. Atas prakarsa Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman serta dibantu oleh tokoh-tokoh atau pemuka suku dayak yang memeluk Agama Islam, diantaranya :
- Datu Ranggana asal Puain
- Datu Kartamina asal Kelua ( Sungai Rukam )
- Datu Sari Panji asal Banua Usang
- Lang- Lang Buana asal Banua Usang
- Taruntun Manau asal Banua Usang
- Timba Sagara asal Banua Usang
- Layar Samit asal Kata Waringin
- Pambalah Batung asal Barito
- Gantung Galuh asal Banua Usang

Membangun sebuah Mesjid dilokasi bekas pesanggarahan tersebut dengan ukuran 15 X 16 meter, 4 (empat) buah tihang utama (Tihang Guru) dari pohon betung ukuran sebesar gantang dan tihang-tihang penunjang lainnya juga dari pohon betung dengan ukuran sedikit lebih kecil dari tihang utama.
Dinding terbuat dari pelupuh, atap dari daun rumbia serta seluruh pengikat bangunan Mesjid tersebut dari Haduk ( ejok ) yang dipintal.
Bangunan Mesjid tersebut dibentuk tinggi dan lancip dengan tiga tingkat atap, pada pun-caknya berbentuk lancip dipasang PETAKA dari kayu Banglai yang di buat oleh Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman sendiri ( Bukti sejarah masih utuh ).

Berdasarkan tutur dari orang-orang tua dari yang meriwayatkan, bahwa pembanguna Mesjid dimaksud dilaksanakan pada pagi hari Kamis ( Tahun 1625 M. ) setelah shalat shubuh, Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman membangunkan 4 tihang Guru Mesjid tersebut, untuk meneruskan pekerjaan selanjutnya dilaksanakan oleh Datu Sari Panji, Datu Kartamina dan lain-lain, sedang Khatib Dayan, Sulthan Abdurrahman dan Datu Ranggana berangkat menuju PUAIN, guna membangun 4 buah tihang guru Mesjid PUAIN.

Setelah shalat Zuhur, selanjutnya untuk meneruskan pekerjaan pembangunan Mesjid PUAIN tersebut dipimpin oleh Datu Ranggana, sedang Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman melanjutkan perjalanan menuju PARAN untuk membangunkan 4 buah tihang Guru Mesjid PARAN ( Wilayah HSU ).

Tiga buah Mesjid tersebut selesai dikerjakan dalam 1 ( satu ) hari, yakni pada hari Kamis. Kemudian pada hari Jum’atnya dilaksanakan shalat jum’at secara serentak pada 3 buah Mesjid tersebut, yaitu :
1. Mesjid Pusaka banua Lawas
2. Mesjid Puain dan ;
3. Mesjid Paran.

Ketiga buah Mesjid tersebut dibangun dalam bentuk yang sama,yaitu tinggi dan lancip.

Sekarang kurang lebih 44 tahun, Mesjid Pusaka Banua Lawas tersebut tidak ada di –adakan rehabilitasi, kecuali hanya yang bersifat rutin atau perbaikan pada bagian-bagian yang mengalami kerusakan kecil.
Pada tahun 1669 dilaksanakan rehabilitasi pertama berupa pelebaran menjadi 16 X 17 meter serta penggantian tihang guru dari betung menjadi ulin ( kayu besi ) sebanyak 4 buah tihang guru, juga tihang penunjang lainnya dari kayu ulin, sedang bentuk bangunan tetap memakai PETAKA yang dibuat oleh Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman, demikian juga dauh tetap memanfaatkan daun buatan Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman yang menurut riwayatnya dibuat dari kayu Banglai dari satu pohon untuk Tiga buah Mesjid tersebut diatas.

Rehabilitasi tersebut dipelopori oleh “ DAURBUNG “ salah seorang tokoh masyara – kat sepeninggal Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman .
Sekitar tahun 1769 dilaksanakan lagi rehabilitasi sekitar tahun 1769 dilaksanakan lagi rehabilitasi ke-2 yang dipelopori oleh HAJI ABU BAKAR, salah seorang Ulama di Banua Lawas. Rehabilitasi tersebut berupa penyambungan tihang utama, karena tihang yang ada masih kurang tinggi, serta penggantian sebagian tihang penunjang yang meng –alami kerusakan .

H. Abu Bakar dibantu oleh MAHMUD ( kakek dari Jumri yang meriwayatkan sejarah singkat Mesjid tersebut ).

Mengenai atap, dinding dan PETAKA tetap sebagaimana keadaan yang lalu.
Sekitar tahun 1791 dilaksanakan lagi rehabilitasi ke-3 yang dipelopori oleh Khatib Tasan ( Putera dari H. Abu Bakar ).
Dalam tahun 1848 dilaksanakan rehabilitasi yang dipimpin langsung oleh PENGHULU RASYID, yaitu penggantian dinding pelupuh dengan kayu ( papan ) serta perabot atas dari bambu diganti dengan kayu. Disamping itu juga dilakukan pelebaran yang menjadi bangunan induk yang sekarang ini.

Pada tahun 1925 dilaksanakan penimbukan dasar dari tanah yang diangkut oleh WAQIF (masyarakat) dari tempat kediaman masing-masing. Dalam tahun 1932 dilaksanakan lagi penggantian dinding dari kayu papan biasa dengan kayu ulin ( kayu besi ) yang dipimpin oleh Haji DUKAHAR sekaligus pemasangan lantai dari Tehel dan pemasangan PETAKA yang baru dari buatan tukang PETAKA dari Paniuran HSU. Kemudian Petaka yang lama buatan Khatib dayan dan Sulthan Abdurrahman disimpan disamping Mihrab Mesjid tersebut sebagai bukti sejarah .

Upacara penurunan PETAKA YANG LAMA dan PEMASANGAN PETAKA YANG BARU disaksikan oleh Tuan Conttoleur berkebangsaan Belanda dari Tanjung .

Sampai sekarang dinding dan lantai Tehel Mesjid tersebut tidak pernah lagi dilakukan penggantian sedang pelebarannya hanya dalam bentuk teras keliling tanpa memperlebar bangunan induk yang telah disempurnakan oleh Penghulu Rasyid dalam tahun 1848 .

Beberapa catatan penting merupakan bukti sejarah yang masih utuh yang dalam kait – annya dengan Mesjid Pusaka Banua Lawas, yang dalam hal ini antara lain :
2 ( dua ) buah TAJAU masih utuh tertanam 60 % kedalam tanah dan tetap kedudukannya sejak semula yang walaupun sudah berusia barangkali lebih dari 400 tahun, warnanya tidak mengalami perubahan ( masih utuh kecerahannya ) walaupun terjemur dipanas Matahari sudah sekian ratus tahun .
1 ( satu ) buah PETAKA buatan Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman dari kayu Banglai setinggi -+ 110 Cm .
1 ( satu ) buah Dauh ( beduk ) dari Kayu Banglai yang dibuat oleh Khatib Dayan dan Sulthan Abdurrahman yang sampai saat ini masih dipakai.
2 ( dua ) biji bata besar ukuran -+ 20 X 40 Cm, yang ditemukan di dalam tanah -+ 1,5 Meter disamping Mesjid Pusaka Banua lawas .
Tanaman pohon-pohon Kamboja diatas Kuburan dibelakang Mesjid Pusaka tersebut yang rata-rata berukuran garis tengahnya 30 Cm .
Selain itu juga terdapat sebuah lukisan dari Penghulu Rasyid berupa hiasan untuk Mimbar. Lukisan tersebut masih utuh dan diletakkan bagian dalam Mimbar Mesjid Pusaka tersebut.

Suatu hal lagi yang sangat menarik, ialah Mesjid Pusaka Banua Lawas terdapat seba –gai Mesjid Keramat oleh masyarakat .Tiap hari Rabu dan lebih-lebih pada dua hari Raya banyak Penziarah berdatangan ke Mesjid tersebut, sebagainya berasal dari Amuntai, Alabio, Negara, Barito Kuala dari Martapura dan bahkan tidak jarang terjadi penziarah dari Aceh, Malaysia dari Kutai dan Samarinda dan lain-lain .
http://www.tabalong.go.id/kumpulan-cerita-rakyat/mesjid-pusaka/#

Gusti Buasan

Gusti Buasan

GUSTI BUASAN DESA LAMPAHUINGIN
KECAMATAN HARUAI
ISI RIWAYAT SINGKAT
Tabalong waktu dahulu merupakan areal yang paling luas meliputi kedaerahan Grogot Kabupaten Pasir sekarang.
Jalan Raya masih belum ada : hubungan hanya melalui jalan kaki selama lebih kurang 2 minggu.
Jika ada sesuatu masalah, umpamanya selamatan perkawinan atau selamatan yang perlu mengundang sanak keluarga serta handai tolan, maka harus dilaksanakan paling tidak sebulan atau dua bulan lebih dahulu.
Hubungan daerah Tabalong dengan daerah Pasir sangat akrab sekali teritama hubungan perdagangan. Meskipun hanya dengan jalan kaki hubungan tetap lancar dan hampir setiap kali ada saja yang pergi dan datang.
Hubungan Kerajaan Banjar dan Kerajaan Pasir pada waktu itu baik sekali.
Pada saat itu sudah terjadi perang Banjar yang menjalar sampai kepelosok-pelosok, belum sampai ketanah Grogot. Di daerah Tabalong juga sampai kedaerah terpencil. Serdadu Belanda sering beroperasi melawan para gerilyawan, yang dipimpin oleh panglima Kerajaan atau dari rakyat biasa.
Daerah Riam Mambanin adalah merupakan daerah kekuasaan Pembakal ( Kepal Desa ) Gusti Abu Bakar dan Gusti Timanggung.
Gusti Abu Bakar sebagai tokoh Ulama yang menyiarkan Agama Islam. Beliau sangat gigih dalam penyiarannya, sehingga beliau banyak teman dan kawan apalagi sebagai Kepala Desa yang sangat di segani.
Pada suatu saat beliau berkenalan dengan seorang tokoh pejuang yang bernama Gusti Buasan. Dalam perjuangan beliau dibantu oleh seorang isteri dan saudara beliau Gusti Berakit. Gusti Buasan dan isteri berjuang didaerah Timur sedangkan Gusti Barakit didaerah Barat, sepanjang sungai Tabalong Kiwa. Gusti Buasan dan Gusti Barakit berhubungan dengan Kerajaan Candi Agung Amuntai yaitu Panglima Pembelah Batung.
Bersama-sama Panglima pembelah Batung, Gusti Buasan melawan Belanda. Selama bertahun-tahun, kadang-kadang berhasil dan kadang-kadang menderita kekalahan. Pihak Belanda selalu melakukan tipu muslihat serta mempunyai mata-mata untuk mencari-cari kekuatan dan strategi musuh.
Sepulang dari Badudus di Riam Mambanin Gusti Buasan bersama isterinya serta saudaranya Gusti Barakit singgah ditempat saudara angkat beliau di Mantikus Desa Lampahungin sekarang ini.
Kedatangan beliau di sambut baik oleh saudara angkatnya tersebut. Beliau dijamu makan dan minum, maklumlah sudah lama tidak bertemu.
Ketika beliau, isteri dan tuan rumah serta Gusti Barakit sedang makan, tiba-tiba datanglah Serdadu Belanda secara tidak disangka-sangka. Terjadilah tembakan yang gencar dari pihak Belanda. Rumah yang beliau singgahi itu letaknya ditepi sungai Manyarau. Ke sungai Manyarau itulah beliau sempat melemparkan isterinya lewat jendela bersama-sama saudaranya Gusti Barakit.
Gusti Barakit dan isteri Gusti Buasan lari menelusuri sungai Manyarau menuju sungai Tabalong Kanan dengan lari diatas air. Itulah keistimewaan Gusti Barakit.
Barakit artinya bahasa Banjar balanting dari batang aur, karena beliau pandai berjalan diatas air tanpa alat dan tidak tenggelam maka, diberi gelar/nama Gusti Barakit.
Kepergian kedua orang tersebut Gusti Barakit dan isteri Gusti Buasan tidak tahu arahnya dan ceritanya lagi penembakan pihak Belanda terhadap Gusti Buasan makin gencar dan beliau kena tembak dipaha.
Dengan hanya kaki sebelah saja beliau sempat berguling-guling keluar rumah menjatuhkan diri ketepi sungai dan terus masuk ke air sambil menyelam. Beliau menghanyutkan diri disungai tanpa diketahui pihak Belanda. Sesudah beliau memperkirakan jauh dengan serdadu Belanda, beliau naik ke darat dengan sisa tenaga yang masih sedikit.
Pihak Belanda telah menawarkan bagi siapa yang dapat menangkap Gusti Buasan atau Gusti Barakit akan diberi imbalan baik hidup atau mati. Itulah sebabnya mata-mata Belanda tersebut gigih mencari beliau. Sesudah sore Gusti Buasan keluar persembunyiannya sambil melihat-lihat ke sungai kalau-kalau ada orang yangt mandi atau yang lewat, karena luka yang dideritanya sangat parah.
Untunglah diseberang sungai terlihat seorang kenalan beliau dan kemudian beliau memangil meminta pertolongan.
Gusti Buasan dibawa ke pondok beliau di seberang sungai dan di obati. Luka beliau kian hari kian parah dan akhirnya beliau berulang kerahmatullah.
Sebelum meninggal beliau sempat beresan seandainya beliau meninggal supaya beliau di kubur dipersembunyian beliau diseberang sungai karena disitulah beliau terhindar dari kepungan Belanda.
Sampai sekarang kubur beliau tetap diziarahi oleh masyarakat terutama pada hari-hari besar Islam.
Melalui naskah ini kami mengangkat suatu sumber sejarah perjuangan di daerah Haruai lewat perjuangan Gusti Buasan dan Gusti Barakit.
Makam Gusti Buassan sudah kami bina dan kami usulkan untuk dijadikan suatu Monumen Sejarah dari sekian banyak Sejarah Perjuangan Bangsa yang belum diketahui.
Alhamdulillah usul kami diterima oleh Pihak Muskala Depdikbud Propinsi Kalimantan Selatan dengan Monumen Ordonantie 1931 Star Blad No : 238.

DATU BAGULUNG DENGAN GELAR NOOR MUHAMMAD

DATU BAGULUNG DENGAN GELAR NOOR MUHAMMAD
KELURAHAN BELIMBING RAYA KECAMATAN MURUNG PUDAK
ISI RIWAYAT SINGKAT
Datu Bagulung dengan Gelar “ NOOR MUHAMMAD “ lahir diperkirakan sekitar tahun 1809 M. beliau berasal dari suku DAYAK Upau dan memeluk Ajaran Agama Islam setelah berusia sekitar 25 tahun dengan seorang Ulama penduduk Belimbing ( sekarang Kelurahan Belimbing ) yang namanya belum diketahui, Ulama tersebut setelah mengislamkan DATU BAGULUNG langsung memberikan gelar kehormatan, yaitu NOOR MUHAMMAD, pengertian Islamnya Datu Bagulung terebut atas cahaya atau petunjuk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Yaitu Agama Islam .
DATU BAGULUNG sebagai latar belakang dari kesaktian yang dimilikinya, yaitu dalam keadaan tertentu atau dalam keadaan luar biasa, terutama dalam beliau menghadapi musuh-musuhnya, yaitu Serdadu Belanda dan orang-orang pribumi yang bersengkongkol dengan Serdadu Belanda, dalam posisi beliau menyingkir dari serangan musuh dengan satu gulingan ( bagulung ) mampu menyerang atau menyingkir dari serangan dalam jarak yang cukup jauh.
Dalam kancah Perang Banjar ( 1859-1865 ) terutama disektor pertahanan Tabalong, beliau memegang peranan sebagai Panglima Perang Gerilya yang tugasnya memimpin serangan gerilya terhadap kubu-kubu pertahanan Kompeni Belanda. Termasuk serangan system gerilya terhadap Kapal-Kapal Kompeni Belanda yang mengangkut Personil dan Logistik.
Dalam mempersiapkan rencana Proklamasi 17 Agustus 1860. Datu Bagulung beberapa kali menghadiri rapat koordinasi di Pedalaman Penghulu Rasyid di Habau, mengenai rencana strategis pertahanan dan penyerangan, yang pada waktu itu pihak Kompeni Belanda sedang melakukan tindakan-tindakan membabi buta disebabkab tidak berhasil membujuk Pangeran Namin sebagai penguasa di Kelua melarikan diri bersama keluarga ke Hutan “ UNDAN “ dan langsung bertapa dan menggaib.
Peranan “ DATU BAGULUNG “ yang dikenal dengan Datu Belimbing sangat menentukan dalam persiapan Proklamsi 17 Agustus 1860 yang dikenal dengan pernyataan Perang Antasari dengan Kompeni Belanda di Tanjung. Beliau ditugaskan untuk mempersiapkan pasukan Gerilya untuk menyerang Kubu-kubu pertahanan Belanda serta mencegat lalu lintas Kapal Angkutan Belanda yang pulang pergi Amuntai-Tanjung.
Masjid Raya Ash Shirathal Mustaqim Tanjung yang pada waktu itu hanya bernama “ MASJID JAMIK “ Tanjung masih berlokasi di Pasar Tanjung yang sekarang (1825-1861) tidak jauh dari masjid tersebut didirikan Banteng Pangeran Antasari. Didalam Banteng tersebut dilaksanakan latihan-latihan fisik prajurit, sedang didalam Masjid dilaksanakan latihan-latihan kebathinan yang dipimpin oleh Penghulu Rasyid dan Datu Bagulung.
Pada hari jum’at tanggal 17 Agustus1860. Pangeran Antasari didampingi oleh Penghulu Rasyid dan Datu Bagulung membacakan teks Pernyataan Perang dengan pihak Belanda dan sekaligus mengibarkan Bendera Merah berlukiskan dua buah Keris bersilang warna putih dihadapan semua prajurit dan rakyat di Tanjung. Mulai saat itu pasukan disiagakan ditempat-tempat yang strategis, terutama dipinggir-pinggir Sungai Tabalong antara lain di Tabur, perbatasan dengan wilayah Hsu. Di Sungai Rukam, Sungai Hanyar, Sungai Buluh, Pamarangan, Puain dan lain-lain.
Beberapa kali pihak pasukan Kompeni Belanda berusaha menerobos kubu-kubu pertahanan pasukan Gerilya Antasari dimaksud, namun selalu mengalami pukulan yang bertubi-tubi, dan kapal perangnya kembali ke Amuntai penuh dengan mayat serdadu yang gugur. Kira-kira satu minggu kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1860 pihak Kompeni Belanda mengarahkan semua kekuatan dari Amuntai, dari Kandangan dan lain-lain untuk memusatkan serangan ke Tanjung, sehingga pada tanggal 25 Agustus 1860 terjadi pertempuran yang dahsyat antara pasukan Pangeran Antasari melawan pasukan serdadu Belanda, dimana pihak “ DATU BAGULUNG “ memainkan perannya sebagai prajurit yang sakti, sehingga dalam pertempuran selama 3 hari 3 malam di Tanjung. Pihak Serdadu Belanda sebagian besarnya gugur dan tiap harinya kapal-kapal perang tersebut penuh dengan mayat, sedang dipihak prajurit Antasri tercatat yang gugur sebagai Syuhada adalah sebanyak 160 orang.
Seusai perang Tanjung, yang dalam hal ini Kota Tanjung jatuh ke tangan Belanda, sedang dari pihak Pangeran Antasari mempersiapkan lagi untuk perang di Mahe. Sedang Datu Bagulung ( NOOR MUHAMMAD ) akhir tahun 1860 menjelang perang Mahe berpulang ke Rahmatullah dan di makamkan di Belimbing ( sekarang Kelurahan Belimbing ) kira-kira 1 klm, ke arah Utara.
http://www.tabalong.go.id/kumpulan-cerita-rakyat/datu-bagulung/#

Merah Johansyah

Merah Johansyah

MERAH JOHANSYAH (1910-1942) ISI RIWAYAT SINGKAT Merah JohansyahDilahirkan pada 8 Agustus 1910 di Tanjung, Kabupaten Tabalong sekarang, dari ayahnya seorang pamong praja, Merah Nadalsyah, yang berasal dari daerah Pagarruyung Sumatera Barat.

Keluarga tersebut yang pemerintah Hindia Belanda diasingkan ke kota Bengkulu, akhirnya merantau ke Kalimantan Selatan. Dikota Tanjung lahirlah Merah Johansyah sebagai anak pertama dari keluarga pegawai negeri. Setelah tamat HIS ia melanjutkan ke OSVIA di Makasar, lalu mendirikan organisasi “Pemuda Osvia Kalimantan” bersama M. Yusran, M. Jahri dll pada tahun 1925 - 1926. Di tahun 1926 itu ia mengikat tali pernikahan dengan gadis Gusti Norsehan, putrinya Gt. Mohd. Said, seorang District Hoofd (Kiai Kepala) yang terkemuka. Dua tahun kemudian ia melanjutkan kerja ayahnya memimpin majalah mingguan “Bond Inlandse Ambtenaren” (BIA) diKandangan, disamping kegiatannya sebagai dinamisator pergerakan kebangsaan di Hulu Sungai.

Sesudah lahirnya ” Sumpah Pemuda ” 28 Oktober 1928, semangat juang pemuda menggelora. Beberapa partai/organisasi bertumbuh di Kalimantan, antaranya “Hizbul Wathan”, ” Persatuan Pemuda Marabahan “, “Taman Siswa”, “Indonesia Muda” , “Partai Nasional Indonesia ” (PNI) dan lain-lain. Pada tahun 1930 itulah ia mempersiapkan berdirinya partai “Persatuan Bangsa Indonesia” (PBI) bersama Andin Burhan, Obetnego Titiahy, M. Masri dkk. Karirnya makin memuncak ketika ia diangkat menjadi Komisaris PBI se Kalimantan, pun juga setelah lahirnya “Parindra”, dimana istrinya senantiasa mendampingi penuh dengan dorongan yang tulus. Karena aktivitasnya yang luar biasa dalam berpartai, sehingga sering tugas kewajibannya sebagai pegawai negeri terlalaikan. Hal itu menyebabkan ia ditangkap Belanda, dituduh sebagai oknum yang membahayakan. Ia diasingkan ke Surabaya (1937). Kembali ke Kalsel ia menerbitkan harian “Canang”. Ketika pendudukan Jepang, ia sakit-sakitan. Ia meninggal 8 April 1942 dan dimakamkan di Kandangan.

http://www.tabalong.go.id/kumpulan-cerita-rakyat/merah-johansyah/

Penghulu Rasyid

Penghulu Rasyid

PERJUANGAN PENGHULU RASYID BANUA LAWAS
ISI RIWAYAT SINGKAT

Penghulu RasyidPenghulu artinya Pemimpin Keagamaan ( Pimpinan Spritual ) bernama Rasyid, ayah beliau bernama. Ma’ali dan ibunya bernama Imur dan Kakaknya bernama Andi bin Kulah dan masih satu keturunan dengan Lambang Mangkurat, yaitu berasal dari keturunan Srilangka.

Penghulu Rasyid dilahirkan pada tahun 1815 M. di Desa Habau Kecamatan Banua Lawas, bahkan rumah tempat kelahiran beliau itu dijadikan Makam Kuburan Tuan Guru Haji Arif Habau. Dilain fihak meriwayatkan ( versi Haji Mukri Telaga Itar ) Bahwa Penghulu Rasyid dilahirkan didesa Telaga Itar pada tahun 1815 M. Penghulu Rasyid sejak kecilnya ta’at beribadah serta patuh terhadap ajaran Agama Islam, selain itu sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Sejak kecil belajar agama kepada orang tuanya, setelah itu melanjutkan pelajaran kepada beberapa orang tokoh Ulama, diantaranya Tuan Guru Haji Bahruddin dan Tuan Guru Haji Abdussamad .
Selain itu beliau belajar ilmu Bela diri kepada salah seorang yang belum diketahui namanya .
Latar Belakang Perjuangan
Penghulu Rasyid
Jauh sebelum tahun kelahiran Penghulu Rasyid ( 1815 M. ) didaerah Kelua telah berdiri sebuah Kerajaan yang bernama “ BAGALONG “ sedang diwilayah Tabalong dan Daerah Pasir ( Tanah Grogot ) setelah Raja Bagalong meninggal dunia, sebagai penggantinya diangkat Putera Al – Marhum bernama “ PANGERAN NAMIN “ sejak pemerintahan Pangeran NAMIN inilah pihak Belanda mulai berdatangan kedaerah ini yang katanya hanya berdagang.
Mereka mulai membeli rempah-rempah dan hasil bumi dan hutan lainnya. Jumlah mereka kian hari kian bertambah disamping mereka mendatangkan bantuan Serdadu dari Pulau Jawa .
Pada akhirnya mereka memaksa Pangeran NAMIN untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Belanda atau setidak-tidaknya bernaung dibawah kekuasaan Belanda dengan membayar upeti kepada Kerajaan Belanda . Berkali – kali Belanda membujuknya namun Pangeran NAMIN tetap pada pendiriannya untuk tidak mau tunduk kepada Belanda . Pihak Belanda memberikan ultimatum kepada pangeran NAMIN harus mengambil alah satu pilihan, menyerah atau diperangi .
Akhirnya Pangeran NAMIN melaksanakan musyawarah dengan para pembantunya serta mengambil suatu keputusan, ialah tidak mengambil salah satu alternatif yang diajukan oleh Belanda, akan tetapi beliau bersama keluarganya serta pembantunya hijrah ke dalam hutan Baruh Undan untuk bertapa .
Sedang pengawal istana dan tokoh – tokoh kerajaan yang lainnya yang tidak bersedia ke pertapaan, mereka menghindar ke pedalaman Balukut, sungai Ratin, Pelajau, Talan, Banua Rantau, Silaung, Habau dan lain–lain.
Pada pagi harinya karena belum menerima jawaban sebagai penagasan dari Pangeran NAMIN kepada Belanda, maka pihak Belanda langsung menyerang istana Kerajaan, namun ternyata Kerajaan tersebut dalam keadaan tidak berpenghuni, sedang istana sudah dibumi hanguskan oleh Pangeran NAMIN sebelum berangkat meninggalkanya . Pihak Belanda yang bermarkas di Amuntai sama sekali tidak mengetahui adanya pembumihangusan Istana tersebut.
Dilain pihak Pangeran Antasari telah menunjuk Penghulu Rasyid sebagai kepala perang disektor Tabalong yang dalam hal ini beliau menetapkan Markas Pertahanan dan tempat latihan Prajurit dalam bergerilya di Desa Habau . Beliau didampingi oleh tiga pembantu utamanya , ialah :
1. Habib Rahban asal Demak
2. Datu Ahmad asal Habau
3. Untuk asal Telaga Itar Kelua
Keterangan :

Lokasi markas pertahanan Penghulu Rasyid ialah di Tunggung Sawu ( Sungai Penghulu ) Mandaling Habau Kecamatan Banua Lawas, sedang daerah penyanggulannya ialah disekitar Telaga Itar, Muara Sungai Hanyar dan di sungai Buluh serta di Tabur .

Pernyataan perang dari Pangeran Antasari terhadap serdadu Belanda yang diploklamirkan di Tanjung pada tanggal 17 Agustus 1860 menyebabkan diseluruh wilayah Tabalong semuanya dalam keadaan bahaya dan pertempuran Pangeran Antasari yang dibantu oleh Penghulu Rasyid melawan Serdadu Belanda di Tanjung selama kurang lebih tiga hari tiga malam yang menyebabkan -+ 160 orang prajurit Antasari / prajurit Penghulu rasyid telah gugur sebagai syuhada, sebagai pihak serdadu Belanda katanya kapal perangnya kembali ke Amuntai penuh dengan mayat serdadu yang gugur .

Penyanggulan dengan perang system gerilya yang dipimpin oleh Penghulu Rasyid telah dilakukan dimana – mana, pihak Belanda hampir tidak ada kemampuan lagi untuk menghadapi serangan penyanggulan dari Prajurit Penghulu Rasyid, yang dalam hal ini pihak Belanda terpaksa meminta bantuan Serdadu ke Banjarmasin .
Puncak Pertempuran :

Pihak Belanda selain menghadapinya secara perang juga dilakukan politik adu domba untuk memancing kelemahan – kelemahan yang menjadi kebiasaan bagi Bangsa Indonesia.Penguasa Belanda diwilayah Tabalong dan Amuntain membuat Maklumat atau Pengumuman yang isinya sebagai berikut:
BARANG SIAPA DAPAT MENANGKAP PENGHULU RASYID DALAM KEADAAN HIDUP ATAU MATI AKAN DIBERIKAN HADIAH 1.000 Golden SERTA DIBERI BINTANG JASA DAN TIDAK DIKENAKAN PAJAK MEMAJAK SAMPAI TUJUH TURUN. KALAU DIA SUDAH TERBUNUH AGAR KEPALANYA DIBAWA SEBAGAI BUKTI.

Penghulu Rasyid bersama prajuritnya yang tegar dengan daya juang yang tinggi berjuang dan mengusir penjajah Belanda di Bumi Tabalong selama kurang lebih 6 tahun ( 1859 – 1865 ) sebagai suatu perjuangan yang tidak terpisahkan dengan wilayah perjuangan daerah - daerah lain di Kalimantan dan bahkan di Indonesia .

Pada suatu pagi yang NAHAS, Penghulu Rasyid dengan kekuatan Prajuritnya sedang disiagakan disekitar Mesjid Pusaka Banua Lawas. Diluar dugaan, tiba–tiba serangan Belanda secara total dari segala jurusan dan terjadilah pertempuran yang amat dahsyat dengan kekuatan yang kurang seimbang, ditambah suatu nahas bagi Pimpinan Griliawan yang gagah perkasa yang dalam hal ini Penghulu Rasyid didampingi oleh sepupu beliau sebagai pendamping yang setia menyingkir keluar dari sektor pertempuran dan seluruh prajuritnya sebagiannya ada terus mengadakan perlawanan dan sebagian lainnya ada yang mundur dan Penghulu Rasyid beristirahat di bawah pohon berunai di sebelah Timur dari Jihad Mesjid Pusaka Banua Lawas .

Tempat persembunyian Penghulu Rasyid bersama sepupu beliau bernama Umpak telah tercium oleh Sepiun Belanda, yaitu kawan seperguruan Penghulu Rasyid yang kebetulan menjadi Pembakal ( Kepala Desa ) bernama BUSAN asal Sungai Rukam Kecamatan Kelua .

Pembakal BUSAN langsung saja menemui sasarannya dengan membayangkan uang kontan 1.000 Golden serta Bintang Jasa dan tidak dikenakan Pajak selama 7 turunan .
Seraya berkata :
Akhirnya kita bertemu juga wahai sahabat, sebaiknya sahabat lebih baik menyerah daripada meneruskan perjuangan yang tidak bakal menang juga melawan Serdadu Belanda yang lebih kuat dan lebih hebat dari kita .

Saya tidak akan menyerah wahai sahabat, apapun yang akan terjadi saya tetap menghadapinya dengan penuh konsekwen. Ingat pesan guru kita. Kalau demikian pendirianmu lebih baik saya membunuh kamu seraya menghunus goloknya dengan pandangan yang ganas dan galak .

Kalau demikian maksud sahabat yang dalam situasi begini saya tidak berdaya lagi karena luka saya sangat parah, untuk itu baiklah saya mohon diri untuk shalat ashar. Pembakal BUSAN mengangguk tanda setuju .

Penghulu Rasyid melaksanakan Shalat Ashar dan sampai pada Sujud akhir pada raka’at yang terakhir tidak bangkit – bangkit lagi, Pembakal BUSAN timbul rasa curiga dan langsung mendekatinya serta menyentuhnya pada bagian leher Penghulu Rasyid, ternyata beliau kembali kerahmatullah dalam keadaan Sujud .

Pembakal BUSAN rasa terkejut dan timbul rasa keraguan untuk mengambil langkah selanjutnya, beliau berjalan -+ 20 meter kemudian terbayang dalam benaknya 1.000 Golden, Bintang jasa dan Bebas Pajak 7 Turunan, dengan tidak berpikir panjang langsung memotong leher Penghulu Rasyid yang sudah dalam keadaan meninggal .

Kepalanya langsung dibawa untuk diperuntukkan kepada Opsir Belanda yang menunggu di Pos Terdepan. Namun ditengah jalan terjadi perebutan atas kepala itu dengan seorang sersan yang seolah – olah sersan itulah yang berhasil membunuh Penghulu Rasyid, akhirnya dapat dilerai oleh serdadu lain dan Pembakal BUSAN dapat membuktikan atas kebenaran dirinya .

Khabarnya uang 1.000 Golden dimaksud yang diterima oleh BUSAN hanya 500 Golden, sedang selebihnya dibagi – bagikan oleh Serdadu Belanda yang telah berusaha juga mendapatkannya. Jenazah Penghulu Rasyid dimakamkan pada sore Jum’at ( setelah Shalat Ashar ) di samping Mesjid Banua Lawas dalam tahun 1865 dalam usia 50 tahun .

Beliau berpulang kerahmatullah dengan meninggalkan bukti – bukti sejarah perjuangan yang tidak kecil artinya dalam memberikan semangat daya juang bagi anak cucu sebagai generasi perjuangan bangsa hingga tercapai wujud Kemerdekaan yang diidamkan oleh seluruh Bangsa Indonesia .
Bukti Sejarah :
—————-
1 (satu) buah Makam disamping Mesjid Pusaka Banua Lawas yang bernama “ MAKAM PENGHULU RASYID “ .Makam tersebut pada bagian bawahnya dari beton dan tehel serta pada bagian atasnya dari kayu ulin dan kubah. Kubah tersebut dibuat oleh Bidang Muskala Kanwil Depdikbud Propkalsel tahun 1998 .
Makam tersebut berukuran :
Panjang : 200 cm.
Lebar : 165 cm.
Tinggi : 103 cm.
Keadaan fisiknya sudah sangat memprihatinkan dengan perawatan yang kurang cukup memadai dan perlu mendapatkan perhatian oleh semua pihak .

http://www.tabalong.go.id/kumpulan-cerita-rakyat/penghulu-rasyid/

Syekh Muhammad Nafis

Syekh Muhammad Nafis
SYEKH MUHAMMAD NAFIS IBNU IDRIS ALBANJARI
ISI RIWAYAT SINGKAT
Sekitar pertengahan tahun 1772 M / 1180 H Syekh Muhammad Arsyad Albanjari akan mengakhiri masa belajarnya setelah menuntut berbagai cabang ilmu pengetahuan selama kurang lebih 25 tahun di Makah Almukarramah dan 5 tahun terakhir di Madinah Almunawarah (1742 – 1772) selanjutnya kembali ke Makah Almukarramah sebagai persiapan untuk kembali ke Tanah air. ( Yang pada waktu itu disebut Tanah Jawi ).
Pada suatu hari jum’at pertengahan tahun tersebut, Syeh Muhammad Arsyad Albanjari bertemu dengan salah seorang keluarga bernama Muhammad Nafis ( Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari )didalam Masjidil haram yang sejak 30 tahun yang lalu telah terpisah. Beliau langsung saja menanyakan tentang sejak kapan saja Syekh Muhammad Nafis berada di Makah Almukarramah, beliau menjawab, sejak kurang lebih satu jam yang, Syekh Muhammad Arsyad Albanjari bertanya lagi tentang dengan sarana Kapal apa saja dari Jawi ke Mekah Almukarramah ini, yang pada waktu itu satu – satunya sarana angkutan dari Jawi ke tanah Suci hanya dengan Kapal layar yang memerlukan waktu pelayaran antara 3 s/d 5 bulan. Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari hanya menjawabnya dengan isyarat yang pengertiannya tidak dengan angkutan Kapal Layar. Kemudian ditanyakan lagi kapan saja kembali ke Jawi, itupun tidak dijawabnya dengan lisan, akan tetapi dijawabnya dengan isyarat yang pengertiannya Insyallah satu jam kemudian. Bagi Syekh Muhammad Arsyad Albanjari sebagai Ulama besar dan sangat A’rif cukup mengerti, bahwa hal-hal demikian sebagai suatu keajaiban yang perlu dilakukan penelitian lebih jauh. Pada hari jum’at berikutnya beliau bertemu lagi dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu Albanjari didalam Mesjid Harum, namun tidak sempat berkata apa-apa beliau sudah menghilang tanpa diketahui kemana arahnya. Kemudian pada hari jum’at berikutnya lagi ( jum’at ketiga ) Syekh Muhammad Arsyad Albanjari pada saat akan keluar dari Mesjidil Haram melalai pintu menuju ke Syamiah langsung bertemu dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari yang sekaligus dirangkulnya dengan erat seraya berkata, saya juga tahun ini akan kembali ke Tanah Jawi setelah kurang lebih tiga puluh tahun bermukim di Tanah Suci, nanti di Martapura Insya Allah kita akan bertemu kembali serta ada hal-hal yang perlu kita bicarakan lebih luas, rangkulan terhadap Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris dilepaskan dan pada saat bersalaman sebagai tanda perpisahan langsung saja Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari berkata, diharap agar jangan sampai menemui saya setelah berada di Martapura kemudian langsung menghilang tanpa diketahui kemana arahnya.
Setelah musim Haji tahun 1772 M = 1186 H Syekh Muhammad Arsyad Albanjari setelah mendapat restudari Guru-guru beliau, baik di Mekah maupun di Madinah, beliau segera akan kembali ke Tanah Air ( Jawai ) bersama-sama dengan teman beliau, yaitu Syekh Abdussamad Alpalimban, Syekh Abdul Wahab Bugis serta Syekh Abdurrahman Masri asal Betawi. Beliau istirahat di Jakarta beberapa hari bersama teman-teman beliau dan sempat memberikan petunjuk membetulkan arah Qiblat Mesjid Jembatan Lima Jakarta tanggal 7 Mei 1172 M. Mereka berpisah di Jakarta dan kembali ke Daerah asal mereka masing-masing. Setelah berada kembali beberapa bulan di Martapura, beliau menanyakan keadaan Syekh Nafis Ibnu Idris Albanjari yang pada waktu itu hanya dikenal sebagai Muhammad Nafis. Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari adalah pengarang Kitab “ ADDRUNNAFIS “ SEBAGAI Kitab ilmu Tashauf yang terkenal berbobot berat dan terlarang bagi orang a’wam mempelajarinya karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahan pemahamannya yang dapat menimbulkan kesesatan dibidang akidah ahlussunah waljama’ah. Beliau adalah kelahiran serta bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Banjar di Martapura dan masih satu rumpun keluarga dengan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari, dari segi usiapun kemungkinan besar tidak jauh perbedaannya. Sampai saat ini belum diketemukan petunjuk-petunjuk tentang : 1. Tanggal/bulan dan tempat kelahirannya. 2. Perkawinan serta keturunannya. 3. Guru – guru serta tempat belajarnya. 4. Cabang – cabang ilmu pengetahuan apa saja yang dikuasainya selain ilmu Kalam dan ilmu Tasauf. 5. Dimana saja beliau menyusun Naskah Kitab ADDARUNAFIS serta Naskah aslinya kepada siapa saja beliau menyerahkannya. Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari meninggal dunia di Anak Desa Sampit, Desa Bahungin ( sekarang desa Binturu ) Kecamatan Kelua. Pada masa hangat-hangatnya perlawanan rakyat dibawah pimpinan Penghulu Rasyid terhadap Serdadu Belanda di wilayah Tabalong dan sekitarnya, maka rakyat pendukung perjuangan Peghulu Rasyid mengadakan pemukiman baru di anak desa yang dinamakan “ SAMPIT “ artinya kecil, ( lokasi anak Desanya tidak terlalu luas ) mereka setiap saat siap bertempur melawan serangan Serdadu Belanda disamping mereka juga membuka areal persawahan dan perkebunan dalam anak Desa tersebut.
Peserta pemukiman baru di Anak Desa SAMPIT tersebut antara lain : - Orang tua keluarga Gst. Musa. - Orang tua keluarga Gst. Bakri. - Orang tua keluarga Gst. Muhammad. - Orang tua keluarga Gst. Irawan. - Orang tua keluarga Gst. Iwih. - Orang tua keluarga Gst. Haji Darmawi. - Orang tua keluarga Gst. Yusuf. - Orang tua keluarga Marjuni. - Orang tua keluarga Haji Sulaiman.
Setelah selesai perang Banjar kemudian terbukanya Jalan Desa Bahungin, maka pemukiman anak Desa Sampit tersebut secara berangsur-angsur pindah tempat tinggal ke Desa Bahungin dan sekitarnya. Keluarga yang paling akhir meninggalkan anak Desa Sampit ke Desa Bahungin adalah Saudara Marjuni dan Saudara H. Sulaiman yang meriwayatkan secara singkat Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari yang dikumpulkannya dari tahun 1945 – 1960 sebagai tahun terakhir pemukimannya di Anak Desa Sampit. Kedua keluarga tersebut termasuk keluarga yang berada serta dihormati oleh penduduk dan bahkan mendapat simpatik tersendiri dari para tamu/penziarah asal Martapura, Banjarmasin Marabahan, Muara Tewi, Rantau, Pelaihari, Kota Baru, Kandangan Barabai, Amuntai dan tidak jarang dari luar Daerah Kalimantan Selatan yang menziarahi Makam Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari yang dimakamkan di Komplek Kuburan Muslim Sampit ( Desa Bahungin / Desa Binturu istilah baru ).
Dari para penziarah tersebut yang sepanjang bisa diingat-ingatkan sejak tahun 1945-1960 mengenai riwayat singkat Syekh Muhammad Nafis Albanjari dimaksud, kemudian diceritakannya kembali pada kami hari Kamis tanggal 18 April 1991 dirumah kediamannya di Desa Binturu kecamatan Kelua.
Riwayat singkat dimaksud dibagi menjadi 2 ( dua ) fase : - Fase pertama ialah riwayat pertemuan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari di dalam Masjid Makkah Almukarramah sekitar pertengahan tahun 1772 M sebanyak 3 kali pertemuan . - Fase kedua ialah riwayat singkat Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari melarikan diri atau menghindarkan diri dari pertemuannya kembali dengan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari yang tadinya dia sudah menolak atas usulan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari pada saat pertemuannya yang ketiga di masjidil Haram.
Isi Riwayat fase kedua : Syekh Muhammad Arsyad Albanjari tetap memandang perlu menemui Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari untuk mendiskusikan atau bertukar pendapat mengenai hal-hal berkenaan dengan masalah keagamaan. Didapat informasi bahwa Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari pada waktu itu berada di Desa Astambul, Syekh Muhammad Arsyad Albanjari ditemani oleh dua orang pembantu , tidak diceritakan, beliau ke Astambul itu naik perahu atau berjalan kaki. Sesampainya di Astambul, ternyata Syekh Muhammad Nafis satu hari sebelumnya sudah berangkat menuju Rantau ( Tapin ). Perjalanan Syekh Muhammad Arsyad diteruskan menuju Rantau, ternyata Syekh Muhammad Nafis sudah berangkat menuju Tatakan dan bermalam. Kemudian perjalanan diteruskan dan sesampainya di Kandangan, ternyata Syekh Muhammad Nafis sudah berangkat menuju Pantai Hambawang, perjalanan dilanjutkan dan sesampainya di Pantai Hambawang ternyata Syekh Muhammad Nafis sudah berangkat menuju Amuntai, sesampainya di Amuntai ternyata beliau sudah berangkat menuju Kelua.
Perjalanan tetap dilanjutkan dan sesampainya di Kelua ternyata Syekh Muhammad Nafis baru saja berangkat ke Desa SAMPIT. Sementara Syekh Muhammad Nafis berada di Kelua hanya beberapa jam, masyarakat sudah melakukan kontak dengan tokoh-tokoh anak Desa SAMPIT antara lain dengan Gst. Musa dll. Karena rencana akhir dari Syekh Muhammad Nafis akan istirahat di Anak Desa SAMPIT, maka masyarakat disana menyambutnya dengan penuh anyusias. Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari langsung saja istirahat dirumah Gst. Musa serta duduk di atas kasur, kurang lebih 15 menit. Kemudian datanglah rombongan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari dan langsung juga menuju dan mau istirahat dirumah Gst. Musa, hal ini atas petunjuk dari tokoh-tokoh masyarakat Kelua. Begitu Syekh Muhammad Arsyad Albanjari memasuki rumah Gst. Musa dan setelah beradu pandang dengan Syekh Muhammad Nafis, pada saat itu Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari berpulang kerahmatullah tanpa ada kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati antara Syekh Muhammad Arsyad Albanjari dengan Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari. Hal ini barangkali sesuai dengan isyarat pada saat perpisahan pada pertemuan yang ketiga di Masjiddil Haram. Sampai saat ini belum ada petunjuk mengenai perjalanan Syekh Muhammad Idris Albanjari ke Wilayah Hulu Sungai sampai ke Anak Desa SAMPIT Kecamatan Kelua, apakah dengan berjalan kaki atau naik perahu atau bertunggangan, demikian juga mengenai hari dan tanggal serta tahun berapa persisnya kejadian itu. Demikian Riwayat pada fase kedua Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari sebagai Ulama Besar dan ahli di bidang Ilmu Tashauf dengan Kitabnya bernama “ ADDARUNNAFIS “. BUKTI-BUKTI SEJARAH :
1.Sebuah Komplek Kuburan Muslim dengan areal kurang lebih 6 berongan, disana banyak Kuburan yang telah berusia tua dan bahkan Nissannya sebagian besarnya dalam bentuk sebelum abad kita ini. Lokasi Kuburan Muslim tersebut di Anak Desa SAMPIT Desa Bahungin Kecamatan Kelua.
2.Diantaranya terdapat sebuah Kubah Kuburan Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari yang senantiasa diziarahi oleh masyarakat dan bahkan Ulama-Ulama di Kalimantan Selatan sejak dulu jauh sebelum Indonesia Merdeka. Kubah tersebut dibangun oleh H. YUSRAN, salah seorang Ulama Kubah tersebut berukuran : - Panjang 2 meter - Lebar 1,95 meter - Tinggi 1,60 meter - Teras 70 cm. - Atap dari sirap.
3.Terdapat satu buah pesanggrahan tempat istirahat para penziarah yang dibangun oleh Camat Darwin, BA pada beberapa tahun yang lalu. Sekarang bangunan tersebut nampaknya kurang terawatt dengan baik. Pesanggrahan tersebut dibangun dari Kayu berukuran : - Panjang 4 meter - Lebar 3 meter - Atap dari seng - Dinding/Lantai dari papan.
4.Satu buah kitab yang dikarang oleh beliau bernama ADDARUNNAFIS dalam bahasa Melayusebanyak 38 halaman. Catatan : a. Pertemuan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari dengan Syekh Muhammad nafis Ibnu Idris Albanjari di Makkah Almukkarramah pada pertengahan tahun 1772 = 1186 H. b. Penyusutan Naskah Kitab ADDARUNNAFIS sebagaimana tercantum dalam halaman pertama Kitab tersebut ialah dalam tahun 1200 H. c. Kemungkinan meninggalnya Syekh Muhammad Nafis Ibnu Idris Albanjari sekitar dalam tahun 1201 H.
TAMAT

Senin, 23 Maret 2009

Babad Tanah Djawi

Babad Tanah Djawi Gubahanipun L. VAN RIJCKEVORSEL Directeur Normaalschool Muntilan Kabantu R.D.S. HADIWIDJANA Guru Kweekschool Muntilan Pangecapan J.B. Wolters U.M. Groningen – Den Haag – Weltervreden – 1925 Pérangan Kang Kapisan Babad Jawa Wiwit Jaman Indhu tumekanéRusaking Karajan Majapahit Abad 2 utawa 3 – Abad 16 Pérangan Kang Kapisan Bab 1 Karajan Indhu ing Tanah Jawa Kulon (wiwit abad 2 utawa 3) Kang wus kasumurupan, karajané bangsa Indhu ana ing Tanah Jawa, kang dhisik dhéwé, diarani karajan ”Tarumanagara” (Tarum = tom. kaliné jeneng Citarum). Karajan iku mau dhèk abad kaping 4 lan 5 wis ana, déné titi mangsaning adegé ora kawruhan. Ratu ratuné darah Purnawarman. Mirit saka gambar gambar kembang tunjung kang ana ing watu watu patilasan, darah Purnawarman iku padha nganggo agama Wisnu. Ing tahun 414 ana Cina aran Fa Hien, mulih saka enggoné sujarah menyang patilasané Resi Budha, ing tanah Indhu Ngarep mampir ing Tanah Jawa nganti 5 sasi. Ing Cathetané ana kang nerangaké mangkéné : 1. Ing kono akèh wong ora duwè agama (wong Sundha), sarta ora ana kang tunggal agama karo dhèwèkné: Budha. 2. Bangsa Cina ora ana, awit ora kasebut ing cathetané. 3. Barengané nunggang prahu saka Indhu wong 200, ana sing dedagangan, ana kang mung lelungan, karepe arep padha menyang Canton. Yèn mangkono dadi dalané dedagangan saka tanah Indhu Ngarep menyang tanah Cina pancèn ngliwati Tanah Jawa. Ing Tahun 435 malah wis ana utusané Ratu Jawa Kulon menyang tanah Cina, ngaturaké pisungsung menyang Maharaja ing tanah Cina, minangka tandhaning tetepungan sarta murih gampang lakuning dedagangan. Karajan Tarumanagara mau ora kasumurupan pirang tahun suwéné lan kepriyé rusaké. Wong Indhu ana ing kono ora ngowahaké adat lan panguripané wong bumi, awit pancèn ora gelem 1.mulangi apa apa, lan wong bumi uga durung duwè akal niru kapinterané wong Indhu. Ewa déné meksa ana kaundhakaning kawruhé, yaiku mbatik lan nyoga jarit. Pérangan Kang Kapisan Bab 2 Karajan Indhu ing Jawa Tengah (abad kaping 6) Mirit saka: 1. Cathetané bangsa Cina 2. Unining tulisan tulisan kang ana ing watu watu lan candhi 3. Cathetané sawijining wong Arab, wis bisa kasumurupan sathithik sathithik mungguh kaananing wong Indhu ana ing Tanah Jawa Tengah dhèk jaman samono. Nalika wiwitané abad kang kanem ana wong Indhu anyar teka ing Tanah Jawa Kulon. Ana ing kono padha kena ing lelara, mulané banjur padha nglèrèg mangétan, menyang Tanah Jawa Tengah. Wong Jawa wektu samono, isih kari banget kapinterané, yèn ditandhing karo wong Indhu kang lagi nenéka mau; mulané banjur dadi sor-sorané. Wong Indhu banjur ngadegaké karajan ing Jepara. Omah omah padunungané wong Jawa, ya wis mèmper karo omah omahè wong jaman saiki, apayon atep utawa eduk lan wis nganggo képang. Enggoné dedagangan lelawanan karo wong Cina; barang dedagangané kayata: emas, salaka, gading lan liya liyané. Cina cina ngarani nagara iku Kalinga, besuké, ya diarani: Jawa. Karajan mau saya suwé saya gedhé, malah nganti mbawahaké karajan cilik cilik 28 (wolu likur). Wong Cina uga nyebutaké asmané sawijining ratu putri: Sima; dikandakaké becik banget enggoné nyekel pangrèhing praja (tahun 674). Tulisaning watu kang ana ciriné tahun 732, dadi kang tuwa dhéwé, katemu ana sacedhaké Magelang, nyebutaké, manawa ana ratu kang jumeneng, jejuluk Prabu Sannaha, karajané gedhé, kang klebu jajahané yaiku tanah tanah Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta lan bokmenawa Tanah Jawa Wétan uga klebu dadi wewengkoné karajan iku. Mirit caritané, karajan kang kasebut iku tata tentrem banget kaya kang kasebut ing tulisan kang katemu ana ing patilasan: Nadyan wong wong padha turu ana ing dalan dalan, ora sumelang, yèn ana begal utawa bebaya liyané. Mirit kandhané sawijining wong Arab, dhèk tengah tengahané abad kang kaping sanga, ratu ing Tanah Jawa wis mbawahaké tanh Kedah ing Malaka (pamelikan timah). Karajan ing dhuwur iki sakawit ora kawruhan jenengé, nanging banjur ana karangan kang katulis ing watu kang titi mangsané tahun 919, nyebutaké karajan Jawa ing Mataram. Jembar jajahané, mungguha saiki tekan Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta; mangloré tekan sagara; mangétané tekan tanah tanah ing Tanah Jawa Wétan sawatara. Kuthané karan : Mendhangkamulan. Wong Arab ngandhakaké, ana ratu Jawa mbedhah karajan Khamer (Indhu Buri). Sing kasebut iki ayaké iya karajan Mataram mau. Kajaba Khamer, karajan Jawa iya wis mbawahaké pulo pulo akèh. Pulo pulo iku mawa gunung geni. Karajan Jawa mau sugih emas lan bumbu crakèn. Wong Arab iya akèh kang lelawanan dedagangan. 3.Sabakdané tahun 928 ora ana katrangan apa apa ing bab kaanané karajan Mataram. Kang kacarita banjur ing Tanah Jawa Wétan. Ayaké baé karajan Mataram mau rusak éning panjebluge gunung Merapi (Merbabu), déné wongé kang akèh padha ngungsi mangétan. Ing abad 17 karajan Mataram banjur madeg manèh, gedhé lan panguwasané irib iriban karo karajan Mataram kuna. Agamané wong Indhu sing padha ngejawa rupa rupa. Ana ing tanah wutah getihe dhéwé ing kunané wong Indhu ngèdhep marang Brahma, Wisnu lan Syiwah, iya iku kang kaaranan Trimurti. Kejaba saka iku uga nembah marang dewa akèh liya liyané, kayata: Ganésya, putrané Bethari Durga. Manut piwulangé agama Indhu pamérangé manungsa dadi patang golongan, yaiku: - para Brahmana (bangsa pandhita) - para Satriya (bangsa luhur) - para Wesya (bangsa kriya) - para Syudra (bangsa wong cilik) Piwulangé agama lan padatané wong Indhu kaemot ing layang kang misuwur, jenengé Wedha. Kira kira 500 tahun sadurungé wiwitané tahun Kristen, ing tanah Indhu ana sawijining darah luhur peparab Syakya Muni, Gautama utawa Budha. Mungguh piwulangé gèsèh banget karo agamané wong Indhu mau. Resi Budha ninggal marang kadonyan, asesirik lan mulang muruk marang wong. Kajaba ora nembah dewa dewa, piwulangé: sarèhné wong iku mungguhing kamanungsané padha baé, dadiné ora kena dipérang patang golongan. Para Brahmana Indhu mesthi baé ora seneng pikire, mulané kerep ana pasulayan gedhé. Ana ing tanah Indhu wong Budha mau banjur peperangan karo wong agama Indhu. Wusana bangsa Budha kalah lan banjur ngili menyang Ceylon sisih kidul, Indu Buri, Thibet, Cina, Jepang. Mungguh wong agam Indhu iku pangèdêpé ora padha. Ana sing banget olehe memundhi marang Syiwah yaiku para Syiwaiet (ing Tanah Jawa Tengah); ana sing banget pangèdêpé marang Wisynu, yaiku para Wisynuiet (ing Tanah Jawa Kulon). Kajaba saka iku uga akèh wong agama Budha, nanging ana ing Tanah Jawa agama agama iku bisa rukun, malah sok dicampur baé. Petilasané agama Indhu mau saikiné akèh banget, kayata: - Candhi candhi ing plato Dieng (Syiwah), iku bokmenawa yasané ratu darah Sanjaya. - Candhi ing Kalasan ana titi mangsané tahun 778, ayaké iki candhi tuwa dhéwé (Budha), yasané ratu darah Syailendra. - Candhi Budha kang misuwur dhéwé, yaiku Barabudhur lan Mendut. - Candhi Prambanan (Syiwah). Ing sacedhaké Prambanan ana candhi campuran Budha lan Syiwah. 4.Relief Candhi Barabudhur Candhi Barabudur Pérangan Kang Kapisan Bab 3 Karajan Ing Tanah Jawa Wétan (wiwitané abad 10 – tahun 1220) Ing dhuwur wus kasebutaké yèn Tanah Jawa Wétan, kabawah karajan Indhu ing Mataram; nanging wong Indhu kang manggon ana ing Tanah Jawa Wétan ora pati akèh, yèn katimbang karo kang manggon ing Tanah Jawa Tengah (Kedhu). Marga saka iku wong Indhu kudu kumpul karo wong bumi, prasasat tunggal dadi sabangsa. Ing wiwitané abad 10 ana pepatihing karajan Tanah Jawa Tengah aran Empu Sindhok lolos mangétan. Let sawatara tahun empu Sindhok mau jumeneng ratu ing Tanah Jawa Wétan, karajané ing Kauripan (Paresidhènan Surabaya sisih kidul). Ambawahaké: Surabaya, Pasuruwan, Kedhiri, Bali bok manawa iya kabawah. Enggoné jumeneng ratu tekan tahun 944 lan iya jejuluk Nata ing Mataram. Nata ing Mataram mau banget pangèdêpé marang agama Budha. Empu Sindhok misuwur wasis enggoné ngerèh praja. Ana cathetan kang muni mangkéné: ”Awit saka suwéning enggoné jumeneng ratu, marcapada katon tentrem; wulu wetuning bumi nganti turah turah ora karuhan kèhé.” Ing tahun 1010 Erlangga tetep jumeneng ratu, banjur nerusaké enggoné mangun paprangan lan ngelar jajahan. Ing tahun 1037 enggoné paprangan wis rampung, negara reja, para kawula padha tentrem. Déné karatoné iya ana ing Kauripan. Sang Prabu Erlangga ora kesupèn marang kabecikaning para pandhita lan para tapa, kang gedhé pitulungané nalika panjenengané lagi kasrakat. Minangka pamalesing kabecikané para pandhita, Sang Nata yasa pasraman apik banget, dumunung ing sikile gunung Penanggungan. Pasraman mau kinubeng ing patamanan kang luwih déning asri, lan rerenggané sarwa peni sarta endah. Saka ediné, nganti misuwur ing manca praja, saben dina aselur wong kang padha sujarah mrono. Pangadilané Sang Nata jejeg. Wong désa kang nrajang angger angger nagara padha kapatrapan paukuman utawa didhendha. Kècu, maling, sapanunggalané kapatrapan ukum pati. Sang Prabu enggoné nindakaké paprentahan dibantu ing priyagung 4, padha oleh asil saka pametuning lemah lenggahè. Saka enggoné manggalih marang tetanén yaiku pagawéyaning kawula kang akèh, Sang Nata yasa bendungan gedhé ana ing kali Brantas. Sang Nata uga menggalih banget marang panggaotan lan dedagangan. Kutha Tuban nalika samono panggonan sudagar, oleh biyantu akèh banget saka Sang Prabu murih majuning dedagangan lan lelayaran. Sang Nata yèn sinéwaka lenggah dhampar (palenggahan cendhèk pesagi), ngagem agem ageman sarwa sutra, remané diukel lan ngagem cênéla. Yèn miyos nitih dwipangga utawa rata, diarak prajurit 700. Punggawa lan kawula kang kapethuk tindaké Sang Nata banjur padha sumungkem ing lemah (ndhodhok ngapurancang?). Para kawula padha ngoré rambut, enggoné bebedan tekan ing wates dhadha. Omahè kalebu asri, nganggo payon gendhèng kuning utawa abang. Wong lara padha ora tetamba mung nyuwun pitulunganing para dewa baé, utawa marang Budha. Wong wong padha seneng praon lan lelungan turut gunung, akèh kang nunggang tandhu utawa joli. Dhek samono wong wong iya wis padha bisa njoget, gamelané suling, kendhang lan gambang. Karasané Sang Prabu besuk ing sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata putrané loro pisan, mulané kratoné banjur diparo: Jenggala (sabageyaning: Surabaya sarta Pasuruwan) lan Kedhiri. Déné kang minangka watese: pager témbok kang sinebut ”Pinggir Raksa”, wiwit saka puncaking Gunung Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing brangloré kali Brantas saka wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran ”Juga”, nuli munggah mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir. Gugur gugurané tembok iku saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali Leksa, sakulon lan sakiduling kali Brantas, ing watesing afd. Malang lan Blitar. Mungguhing babad Jawa jumenengé Parbu Erlangga kaanggep minangka pepadhang sadjroning pepeteng, awit rada akèh caritané kang kasumurupan. Kawruh kasusastran wis dhuwur. Layang layangé ing jaman iku tekané ing jaman saiki isih misuwur becik lan dadi teturutaning crita crita wayang. Layang layang mau basané diarani: Jawa Kuna, kayata: 1. Layang Mahabarata 2. Layang Ramayana lan Arjuna Wiwaha. Karajan Jenggala ora lestari gedhé, awit pecah pecah dadi karajan cilik cilik, marga saka diwaris marang putraning Nata; yaiku parja Jenggala (Jenggala anyar); Tumapel utawa Singasari lan Urawan. Karajan cilik cilik kang cedhak wates Kedhiri or suwé banjur ngumpul mèlu Kedhiri, liyané isih terus madeg dhéwé ngan tekan abad 13. Kerajan Kedhiri (Daha, Panjalu) mungguha saiki mbawahaké paresidhènan Kedhiri, saperangané Pasuruwan lan Madiyun. Kuthané ana ing kutha Kedhiri saiki. Karajan mau bisa dadi kuncara. Ing wektu iku kasusastran Jawa dhuwur banget, nalika jamané Jayabaya (abad 12) ngluwihi kang uwis uwis lan tumekané jaman saiki isih sinebut luhur, durung ana kang madhani. Ing tahun 1104 ing kedhaton ana pujangga jenengé: Triguna utawa Managocna. Pujangga iku sing nganggit layang Sumanasantaka lan Kresnayana. Radèn putra utawa Panji kang kacarita ing dongèng kae, bokmenawa iya ratu ing Daha, kang jejuluk Prabu Kamesywara I. Jumeneng ana wiwitané abad kang kaping 12. Garwané kekasih ratu Kirana (Candra Kirana) putrané ratu Jenggala. Ing mangsa iki ana pujangga jenengé Empu Dharmaja nganggit layang Smaradhana. Radèn Panji nganti saiki tansah kacarita ana lakoné wayang gedhog lan wayang topeng. Pujanggané Jayabaya aran Empu Sedah lan Empu Panuluh. Empu Sedah ing tahun Saka 1079 (= 1157) methik sapéranganing layang Mahabarata, dianggit lan didhapur cara Jawa, dijenengaké layang Bharata Yudha. Wong Jawa ing wektu iku wis pinter, wong Indhu kesilep, karajan Indhu wis dadi karajan Jawa. Pérangan Kang Kapisan Bab 4 Ken Angrok Nelukaké Karajan Karajan Cilik (1220 – 1247) Ing tahun 1222 ana ratu ing Tumapel utawa Singasari, jenengé Ken Angrok. Critané Ken Angrok iki saka layang Pararaton. Ketemuné layang iki ana ing Bali dhèk tahun 1891. Ken Angrok lair ana ing sacedhaké Tumapel (Singasari), asal wong tani lumrah baé. Ken Angrok kacarita bagus rupané lan bisa nenarik katresnaning wong, nanging banget kareme marang pangaji aji lan wani marang penggawé luput. Ing sawijining dina ana Brahmana ketemu karo dhéwékné, kandha yèn dhéwékné titising Wisnu. Anggoné kandha mangkono iku, awit Brahmana mau ngerti yèn Ken Angrok iku wong kang gedhé karepe lan kenceng budiné. Brahmana banjur golèk dalan bisané Ken Angrok kacedhak karo adipati ing kono, Sang Tunggul Ametung. Ora antara suwé kelakon Ken Angrok kaabdekaké. Bareng wis mangkono, Ken Angrok banjur tansah golèk dalan kapriye enggoné bisa ngendhih Sang Adipati, nggentèni jumeneng. Ketemuning nalar Ken Angrok banjur ndandakaké keris becik marang Empu Gandring. Sawisé keris dadi, katon becik temenan, nganti mitrané Ken Angrok aran Keboijo kepencut kepingin nganggo, banjur nembung nyilih: oleh. Saka senengé, keris mau saben dina dianggo sarta dipamer pameraké, dikandhakaké duwèké dhéwé. Bareng wis sawatara dina Ken Angrok banjur nyolong kerisé dhéwé kang lagi disilih ing mitrané mau dianggo nyidra Sang Adipati. Kelakon séda, keris ditinggal ing sandhingé layon. Urusaning prakara: mitrané Ken Angrok sing kena ing dakwa, diputus ukum pati. Ken Angrok banjur bisa oleh Sang putri randaning Tunggul Ametung lan gumanti madeg adipati: Sang Putri asmané Ken Dhedhes. Sasuwéné dicekel Ken Angrok negarané tata, reja, wong cilik banget sungkeme. Sawisé mbedhah karajan cilik cilik ing Jenggala, Ken Angrok banjur emoh kebawah Kedhiri, malah ing tahun 1222 mbedhah praja Kedhiri nganti kelakon menang, Ratu ing Kedhiri Prabu Kertajaya séda nggantung sabalané kang padha tuhu. Kedhiri banjur ditanduri adipati kabawah Singasari. Bareng para ratu darah Empu Sindhok wis kalah kabèh karo Ken Angrok, Ken Angrok banjur jumeneng Ratu gedhé, jejuluk Prabu Rejasa, uaiku kang nurunaké para ratu ing Majapait. Kacarita Sang Retna Dhedhes nalika sédané adipati Tunggul Ametung wis ambobot. Bareng wis tekan mangsané, Sang Retna mbabar putra kakung, diparingi peparab Radèn Anuspati. Wiwit timur nganti diwasa Sang Pangéran ora ngerti yèn satemené dudu putrané Prabu Rejasa, nanging rumangsa yèn ora ditresnani ing Sang Prabu, beda banget karo rayi rayiné. Ing sawijining dina Anusapati kelair marang ibuné mangkéné: ”Ibu, punapa, déné Kangjeng rama punika teka boten remen dhateng kula?” Sang Retna banget trenyuhing galih mireng atur sasambaté kang putra, wasana banjur keprojol pangandikané; kang putra dicritani lelakoné wiwitan tekan wekasan. Anusapati banget ing pangunguné, sanalika banjur duwè sedya males ukum, nanging isih sinamun ing semu. Keris yasané Empu Gandring disuwun, pawatané mung kepingin banget anganggo. Kang ibu lamba ing galih, keris diparingaké. Anusapati banjur nimbali abdiné kekasih, diparingi keris mau lan diweruhaké ing wewadiné. Benginé Sang Prabu séda kaprajaya ing duratmaka. Layoné Sang Prabu dicandhi ana ing Kagenengan (cedhak Malang). Anusapati nggentèni jumeneng Nata. Anusapati jumeneng ora suwé, awit Radèn Tohjaya ngerti yèn Anusapati kang nyedani ramané, mulané sumedya males ukum lan iya kelakon. Tohjaya jumeneng Nata, nanging iya ora suwé. Tohjaya utusan mantriné aran Lembu Ampal, didhawuhi nyirnakaké kalilipe loro, yaiku: Ranggawuni, putrané Anusapati, lan nakdulure kang aran Narasingamurti; yèn ora bisa kelakon, Lembu Ampal dhéwé bakal kena ukum pati. Dumadakan ana sawijining Brahmana kang welas marang raden loro, banjur wewarah saperluné. Satriya loro banjur ndhelik ana ing panggonané Panji Patipati. Lembu Ampal nggolèki raden loro ora ketemu, banjur ora wani mulih, ngungsi marang Panji Patipati. Bareng ana ing kono mbalik ngiloni raden loro, malah ngrembugi para punggawa kang ora cocog karo Tohjaya diajak ngraman, wasana kelakon, Sang Prabu nganti nemahi séda. Ranggawuni jumeneng Nata ajejuluk Syri Wisynuwardhana nganti nakdhereke Narasinga. Nganti tekan ing séda priyagung loro mau rukun banget, nganti dibasakaké: ”Kaya Wisynu lan kang raka Bathara Endra”. Karatoné mundhak gedhé pulih kaya dhèk jamané Prabu Erlangga, malah jajahané wuwuh Madura. Sang Nata séda ing tahun 1268, layoné diobong kaya adat, awuné sing separo dicandhi ana ing Welèri, ditumpango reca Syiwah, sing separo dipethak ana candhi Jago (Tumpang) nganggo reca Budha. Dadi tetéla ing wektu iku agama Syiwah karo Budha campur. Recané Sang Prabu Erlangga ana ing Belahan Pérangan Kang Kapisan Bab 5 Jumenengé Kartanagara ing Tumapel (1268 – 1292) Ratu Singasari kang Kaping V, jumeneng mekasi. Sasédané Syri Wisynuwardhana pangéran pati jumeneng Nata, ajejuluk Prabu Kartanagara. Sang Prabu manggalih marang kawruh kagunan, lan kasusastran, lan iya manggalih marang undhaking jajahan, nanging kurang ngatos atos, lan kersa ngunjuk nganti dadi wuru. Ana nayakaning praja aran Banyak Widhe utama Arya Wiraraja, tepung becik lan Jayakatwang, adipati ing Daha. Satriya iku ora sungkem marang ratuné, malah wis sekuthon karo Jayakatwang, arep mbalela. Dumadakan ana punggawa kang matur prakara iku, nanging Sang Prabu ora menggalih, Wiraraja malah diangkat dadi adipati ana ing Madura. Pepatihe Sang Nata aran Raganatha rumeksa banget marang ratuné, nganti sok wani ngaturi pènget marang Sang Prabu ing bab kang ora bener, nanging Sang Prabu ora rena ing galih, ora nimbangi rumeksaning patih setya iku, malah banjur milih patih liya kang bisa ngladèni karsané. Patih wredha diundur, winisuda dadi: nayaka pradata, dadi wis ora campur karo prakara pangreh praja. Patih anyar senengé mung ngalem marang ratuné lan ngladosi unjuk unjukan. Ana utusan saka ratu agung ing nagara Cina (Chubilai) dhawuh supaya Prabu Kartanagara nyalirani dhéwé utawa wakilsuwana marang nagara Cina perlu saos bekti (tahun 1289). Sang Prabu duka banget. Bathuking Cina utusan digambari pasemon kang ora apik, nelakaké dukané Sang Prabu. Bareng tekan ing nagara Cina patrape ratu Jawa kang mangkono iku mau njalari dukané ratu binathara ing Cina, Ing tahun1292 ana prajurit gedhé saka ing Cina arep ngukum ing kuwanéné wong Jawa. Wiraraja sasuwéné ana ing Madura isih ngrungok ngrungokaké apa kang kalakon ana ing Singasari, lan iya weruh uga yèn ing wektu iku prajurit Singasari dilurugaké menyang Sumatra. Wiraraja ngajani Jayakatwang akon nangguh mbedhah Singasari, mumpung nagara lagi kesisan bala. Jayakatwang ngleksanani, lan Singasari kelakon bedhah. Ratu lan patihe katungkep ing mungsuh isih terus unjuk unjukan baé (wuru), mulané ora rekasa pinurih sédané. Radèn Wijaya, wayahè Narasinga, nuli umangsah ngetog kaprawiran mbelani nagara lan ratuné, nanging wis kaslepek karoban wong Daha, mulané banjur kepeksa ngoncati, mung kari nggawa bala 12, genti genti nggendhong Sang Putri garwané Radèn Wijaya, putrané Prabu Kartanagara. Lampahè Radèn Wijaya sasentanané nusup angayam alas. Kalebu wilangan 12 iku ana satriyané loro, putrané Wiraraja, duwè atur marang Gustiné supaya ngungsi menyang Madura. Sang Pangéran mauné ora karsa, nanging suwé suwé nuruti. Ana ing madura ditampani kalawan becik. Rembuge Wiraraja, Radèn Wijaya diaturi suwita menyang Daha. Wiraraja sing arep nglantaraké. Yèn wis kelakon suwita Radèn Wijaya diaturi nyetitèkaké para punggawa ing Daha, sapa sing kendel utawa jirih, tuhu utawa lamis. Yèn wis antara suwé diaturi nyuwun tanah tanah Trik, dibabada banjur dienggonana. Radèn Wijaya nurut ing pitudhuh, lan iya kelakon suwita ing Daha. Kacarita pasuwitané kanggep banget, amarga saka pintere nuju karsa, lan saka pintere olah gegaman; wong sa Daha ora ana sing bisa ngalahaké. Kabeh piwulangé Wiraraja ditindakaké, dilalah Sang Prabu teka dhangan baé, malah bareng tanah Trik wis dibabad, Radèn Wijaya nyuwun manggon ing kono iya dililani. Kacarita nalika babade tanah Trik mau, ana wong kang methik woh maja dipangan, nanging rasané pait. Awit saka iku désa ingkono mau banjur dijenengaké Majapait. bareng Radèn Wijaya wis manggon ing Majapait, rumangsa wis wayahè tata tata males ukum, ngrusak kraton Daha, ananging Wiraraja akon sabar dhisik, awit isih ngenteni prajurit saka nagara Cina kang arep ngukum wong Singasari. Karepe Wiraraja arep ngréwangi Cina baé dhisik, besuké arep mbalik mungsuh Cina. Wiraraja banjur boyong sakulawargané lan saprajurite menyang Majapait ngumpul dadi siji karo Radèn Wijaya. Pérangan Kang Kapisan Bab 6 Karajan Melayu Ing Bab 5 ana critané Prabu Kartanagara enggoné anjangka undhaking jajahané. Ana ing tanah Sumatra kelakon bisa oleh jajahan. Ing ngisor iki iki crita sathithik tumraping karajan karajan ing tanah Melayu. Kacarita ratu ing Funan, kira kira ing sajroning abad 3 ngelar jajahan, ngelun tanah Sumatra, Jawa lan liya liyané, ayaké ratu iku kang yasa reca reca ing tanah Pasémah. Ing abad kapitu ana golonganing para pangéran saka ing Indhu Buri, pada manggon ing sakiwa tengening Palembang, banjur ngedegaké nagara gedhé, jenengé karajan çrivijaya (= Syriwijaya, sinebut ing bangsa Cina nagara: Sambotsai). Ratu ratuné padha darah Warman, isih dumunung sanak karo darah Purnawarman ing Tanah Jawa dhèk abad 4 – 5, apadéné darah Mulawarman ing Kutai lan Bornéo dhèk watara tahun 400. Nagara çrivijaya jajahané kira kira Sumatra sisih kidul ln tengah, Malaka, Kamboja lan malah tekan Tanah Jawa. Ing tahun 686 ratu agung ing negara çrivijaya nglurugi Tanah Jawa, awit Tanah Jawa ora tuhu pangèdhêpé marang çrivijaya. Sajroning abad 10 prajurit Jawa genti nglurugi çrivijaya, menang, nanging ora suwé çrivijaya bisa kombul manèh. Praja iku ajeg enggoné nglakokaké utusan marang Narendra ing Cina. Ing sajroning abad 12 lan 13 nagara gedhé çrivijaya pecah dadi karajan cilik cilik. Darah Warman jumeneng ana ing tanah kang sinebut tanah: ”Melayu” yaiku saikiné Jambi. Rehning pasisiré tanah Melayu kono akèh rerusuh, wongé akèh kang padha ngungsi marang tanah pagunungan kang loh, ana ing kono padha dedhukuh. Bareng Tanah Jawa gedhé pangwasané, Prabu Kartanagara (1268 – 1292) kalakon bisa ngrusak kutha Paséi, lan ngejegi Jambi, Palembang, Riouw sarta kutha kutha akèh ing Bornéo apadéné pulo pulo ing Moloko. Ing saantaraning tahun 1275 lan 1293 wong Jawa nglurugi tanah pagunungan Jambi mau yaiku tanah kang besuké aran Menangkabau. Lurugan iku diarani: Pamalayu. Ing tahun 1268 Prabu Kartanagara angganjar reca marang ratu ing Dharmmaçraya (Darmasraya) uga dumunung ing tanah Jambi, ing saikiné ora adoh karo Sungai Lansat. karajan iku ing besuké kalebu jajahan Majapait, rajané darah Warman jejuluk Tribuwana (Mauliwarman) kagungan garwa bangsa Melayu, kang putriné (putrané putri) ayaké dai garwané Radèn Wijaya biyèn. Sang Raja Tribhuwana milu karo bangsa Jawa nglurugi tanah Padhang Hulu. Miturut carita Melayu, lurugan mau ora oleh gawé, mung marga saka klebu ing gelar, kalah enggoné adu kebo, mulané kuthané banjur jeneng Menangkabau iku. Ana raja wewengkoné karajan Dharmmaçraya jejuluk Adityawarman nagarané ing Malayupura, kang ing tahun 1347 wus merdika, ambawa pribadhi, iku nglurugi Menangkabau, nanging ora nganti dadi perang, malah banjur diangkat dadi raja ing kono, awit pancèn dianggep bangsa Melayu. Jumenengé ana ing Menangkabau wiwit tahun 1347 tekan 1375, kecrita ing kawicaksanané lan pintere nyekel praja. Tumeka saprené Sang Adityawarman sarta nayakané loro kang aran Papatih Sabatang lan Kyai Katumanggungan isih dipundhi pundhi marang bangsa Menangkabau. Sapungkure Sang Aditya wis ora ana raja ing Menangkabau kang kecrita. Negarané pecah pecah, ing saiki isih akèh titike, mungguh ing kaluhuraning para raja Jawa asal Indhu, ana ing tanah Menangkabau kono, luwih luwih tumraping basa lan sastrané. Darah raja raja kuna ing Menangkabau mau enteke durung lawas, kang pungkas pungkasan putri, sédané lagi saiki baé. Ing tahun 1377 kutha Sanbotsai ing tanah Palembang rinusak ing balané Prabu Ayamwuruk. kang kuwasa ing tanah Palembang kasebut jeneng Arya Damar nurunaké Radèn Patah (+/- tahun 1500). Awit saka ambruking karaton Majapait, Palembang iya katut apes, besuké kalah karo Banten. Kaluhuraning Tanah Jawa ana ing Sumatra sisih kidul kono tumekané dina iki uga iya isih akèh tilas tilasé. Régol patilasan bètèng Majapait, jenengé Bajang Ratu Pérangan Kang Kapisan Bab 7 Perang Cina lan Adegé Karajan Majapait (1292) Ing tengah tengahané tahun 1292 Maharaja Choebilai sida ngangkataké wadya bala menyang ing Tanah Jawa perlu arep ngukum Prabu Kartanagara. Ana ing pacekan (Surabaya) prau Jawa kalah, nuli bala Cina arep nglurugi9 Daha, kang dikira panggonané Kartanagara (kang nalika iku wis séda). Kacarita Radèn Wijaya dhèk jaman samono wus wiwit mbalela marang Jayakatwang ratu ing Daha. Sarèhné duwè pangarep arep bisaa ditulungi ing Cina numpes ratu ing Daha, mulané Radèn Wijaya banjur gawé gelar ethok ethok arep teluk marang sénapati Cina. Kabeneran ora let suwé Majapait, panggonané Radèn Widjaya ditempuh ing wong Daha, Radèn Wijaya entuk pitulungané wong Cina bisa menang. Wasana ing tahun 1293 kutha Daha dikepung ing balané Shih Pih lan Radèn Wijaya, Daha bedhah, ratuné kacekel, peni peni raja peni dijarah rajah, Radèn Wijaya nulungi putri putri, putrané Prabu Kartanagara digawa oncad menyang Majapait. ora antara suwé, marga saka akale Wiraraja, Radèn Wijaya bisa ngusri prajurit Cina. Wondéné prajurit mau, senadyan kesusu susu meksa isih bisa anggawa barang rayahan, pengaji mas satengah yuta tail lan tawanan wong satus saka Daha. Radèn Wijaya banjur jumeneng Nata ing Majapait, jejuluk Kertarejasa Jayawardhana utawa Brawijaya I (tahun 1294 – 1309) Sawisé jumeneng Nata, Sang Prabu anggeganjar marang sakabèhing kawula kang mauné labuh, marang panjenengané. Wiraraja dibagehi tanah Lumajang saurute. Putriné Kartanagara papat pisan dadi garwané Sang Prabu, lan isi ana garwa paminggir siji saka tanah Melayu aran Sri Indresywari. Saka gaewa paminggir iki Sang Prabu kagungan putra R. Kaligemet, kang besuké nggentos kaprabon, ajejuluk Jayanégara, saka Prameswari Sang Prabu peputra putri loro. Ing tahun 1295 R. Kalagemet lagi yuswa sataun wis diangkat dadi panéran pati lan dadi ratu ing Kedhiri, ibuné kang ngembani nyekel praja Kedhiri. Ing nalika panjenengané Prabu Kertarejasa Jayawardhana iku, Tanah Jawa karo Cina becik manèh, perdagangané gedhé, wong Cina teka ing Tanah Jawa nggawa mas, salaka, merjan, sutra biru, sutra kembang kembangan, bala pecah lan dandanan wesi. Saka ing Tanah Jawa, Cina kulak: beras, kopi kapri, rami, bumbon craken luwih luwih mrica, barang barang mas utawa salaka, bangsa dandanan kuningan utawa tembaga, tenunan kapas lan sutra, welirang, gading, cula warak, kayu warna warna, manuk jakatuwa lan barang nam naman. Ing Tanah Jawa ing wektu iku akèh palabuhan ramé, kayata: Tuban, Sedayu; Canggu. nalika jamané ratu iki ing bawah karaton Majapait kena dibasakaké ungsum kraman. Para satriya kang mèlu lara lapa dhèk jamané Radèn Wijaya saiki ora oleh ati, awit Sang Prabu mung anggega aturing nayakané kang aran Mahapati, wasana para satriya mau banjur genti genti padha ngraman, nanging temahan asor jurite. Ing tahun 1328 Sang Prabu séda, dicidra ing dukun kang didhawuhi ambedhel salirané. Sasédané Prabu Jayanégara kang gumanti sadhereke putri, kang sesilih Bhreng Kauripan banjur jejuluk Jayawisynuwardhani. Sang nata dewi krama oleh satriya, kekasih Kartawardhana, misuwur pinter, sregep lan jejeg penggalihe. Sang Pangéran diangkat dadi panggedhéning jaksa lan oleh lungguh bumi Singasari sawewengkoné. Gajahmada dadi warangkaning ratu. Karepe Gajahmada arep nungkulaké saTanah Jawa kabèh lan pulo pulo sakiwatengené. Ora let suwé yaiku tahun 1334 Sumbawa lan Bali bedhah banjur kabawah marang Majapait, mangka Bali nalika samana wis mbawahaké Lombok, Madura, Blambangan lan Sélebes sabageyan. Sénapatining prajurit kang ngelar jajahan ing sajabaning Jawa aran Nala. Ing tahun 1334 Sang Raja putri mbabar miyos kakung diparabi Ayam Wuruk, kang banjur dijumenengaké Nata, nanging isih diembani kang ibu nganti tekan tahun 1350. Pérangan Kang Kapisan Bab 8 Ayam Wuruk, Syri Rajasanagara, Ratu kang kaping IV ing Majapait (tahun 1350 – 1389) Awit saking gedhéné lelabuhané Patih Gajahmada, nagara Majapait saya suwé saya misuwur kuwasané. Prabu Ayam Wuruk tetep jumeneng ratu agung binathara ngerèh sapepadhaning ratu. Sang Nata krama oleh nakdhereke piyambak kang wewangi Retna Susumnadewi. Para santanané padha ginadhuhan tanah dhéwé dhéwé ing samurwate. Déné kuwajibané para santana utawa adipati mau ing mangsa kang wus ditamtokaké kudu ngadhep ing panjenengané Nata, mulané kabèh padha duwè dalem becik becik ana ing Majapait, muwuhi asrining nagara. Ing jaman iku ana pujangga kraton aran ”Prapanca” (Budha). Ing tahun 1365 pujangga iki nganggit layang kang aran Nagarakertagama. Ana manèh pujangga aran Empu Tantular nganggit layang Arjunawiwaha. Majapait ing wektu iku emeh mbawahaké satanah Indiya Wétan kabèh, kayata: Tanah Jawa Wétan lan Tengah, Sumatra, wiwit Lampung tekan Acih (Perlak), Bornéo (Banjarmasin), Sélebes (banggawai, Salaiya, Bantaiyan), Florès (Larantuka), Sumbawa (Dompo), saparoning Malaka lan sabageyaning Nieuw Guinéa. Tanah Sundha ora ditelukaké. Kang jumeneng ratu ana ing tanah Sundha mau ajejuluk Prabu Wangi, putrané putri dilamar Prabu Ayam Wuruk iya dicaosaké, ananging Prabu Wangi banjur pasulayan karo Patih Gajahmada, nganti dadi perang. Prabu Wangi séda ing paprangan lan akèh punggawané kang mati ana paprangan; ewadéné tanah Sundha ora dibawah Majapait, isih madeg dhéwé ing saterusé. Ing Jaman samono paro ajar utawa pandhita (agama Budha utawa Syiwah) mèlu nindakaké paprentahan nagara, mulané padha diparingi lungguh bumi dhéwé dhéwé kang diarani bumi: Pradikan. Padésan ing sakubenging candhi utawa padhepokaning para pandhita lumrahè uga dadi bumi pradikan, wongé diwajibaké jaga lan ngopeni candhi padhepokan mau. Kawula liyané padha kena pajeg prapuluhan (saprapuluhing pametuning buminé), lan kena ing pagawéyan gugur gunung lan sapepadhané. Pajeg rajakaya, pajeg panggaotan lan tambangan ing wektu samono iya wis ana. Pametoning praja gedhé banget, perlu kanggo rgad perang lan kanggo kapraboning Sang Nata sarta kanggo yeyasan nagara, kayata: kraton, gedhong gedhong, pasangrahan pasanggrahan lan liya liyané. Ing nagara Majapait wis akèh omah kang becik becik, payoné sirap, déné omah kang lumrah padha apager gedhég, ananging ing jero racaké ana pethiné watu kang santosa perlu kanggo nyimpen barangé kang pangaji. Wong wong dhèk jaman samono padha doyan nginang, senengané padha tuku bala pecah saka juragan Cina, pambayare nganggo dhuwit sing diarani Kèpèng. Wong lanang padha ngore rambut, wong wadon gelungan kondhe. Wiwit enom wong wong padha nganggo gegaman keris, lan gegaman iku kerep diempakaké. Wong yèn mati jisime diobong, yèn sing mati iku bangsa luhur utawa wong sugih bojo bojoné (randha randhané) padha mèlu obong. Ora adoh saka nagara ana papan kanggo adu adu kewan utawa uwong utawa kanggo karaméyan liya liyané. Papan iku arané ”Bubat” Sang Nata kerep lelana tinggal nagara, ing Blambangan saurute iya tau dirawuhi. Prakara perdagangan iya dadi gedhé banget, awit saka majuning lelayaran kagawa saka kehing nagara nagara kang kabawah ing Majapait sing kelet letan sagara. Bab kagunan, kayata: ngukir ukir sapepadhané, kombule ing Tanah Jawa Wétan dhèk pungkasané abad kang katelulas, lan ing wiwitané abad kang pat belas, mung baé panggawéné reca reca kang apik apik iku nganggo tuntunaning wong Indhu utawa nurun kagunan Indhu. Cekaking carita: Nalika panjenengané Prabu Ayam Wuruk iku, Majapait lagi unggul unggule, samubarang lagi sarwa onjo. Prabu Ayam Wuruk tilar putra kakung miyos saka selir asma ”Bhre Wirabhumi” jumeneng Nata ana ing bageyan kang wétan. Déné kang nggentèni keprabon Majapait putra mantuné Sang Nata, ajejuluk Wikramawardhana (tahun 1389 – 1400). Ing tahun 1400 Sang Prabu sèlèh keprabon, kersané arep mandhita, ananging sapengkere Sang nata, putra lan sentanané padha rebutan nggentèni keprabon. Prabu Wikramawardhana banjur kapeksa kundur jumeneng ratu manèh nganti tekan tahun 1428. Sajroning jumeneng sing keri iki Sang Prabu nerusaké merangi santanané kang wus kabanjur ngraman nalika Sang Prabu jengkar saka kraton. Rehning perang iki nganti suwé dadi nganakaké kapitunan akèh lan karusakan gedhé, awit teluk telukan ing tanah sabrang banjur padha wani mbangkang wus ora gelem kabawah Majapait. Tataning kawula iya banjur rusak. Prakara patèn pinatèn wis dadi lumrah. Akeh wong main lan adu jago totohanu gedhéni. Ing tahun 1428 – 1447 kang jumeneng nata ratu putri jejuluk Retna Dewi Suhita, putrané Prabu Wikramawardhana saka garwa paminggir. Terusé banjur banjur Prabu Kertawijaya (1447 – 1452) lan manèh Prabu Bhra Hiyang Purwawisyesa (1456 – 1466), Pandan Salas (1446 – 1468), banjur Prabu Bhrawijaya V (1468 – 1478). Mungguh babade ratu ratu kang wekasan iki ora terang, mulané ora disebutaké. Ana ratu ing nagara Keling (salor wétané Kedhiri, skidul kuloné Surabaya) jejuluk Prabu Ranawijaya Giridrawardhana ngelar jajahan nelukaké Jenggala, Kedhiri lan uga mbedhah Majapait (tahun 1478). Bedhahè Majapait iku kuthané ora dirusak, awit ing tahun 1521 lan 1541 nagara Majapait isih kecrita kutha kang gedhé. Suwe suwé kutha Majapait dadi rusak, awit wong wongé kang ora seneng kaerèh ing kraton liya, padha genti genti ninggal negarané, nglèrèg marang tanah Bali. Saiki Majapait mung kari patilasan baé, awujud pager bata tilas mubeng lan tilas gapura (Candhi Tikus, Bajang Ratu). Isih sajroning jaman Majapait, agama Islam wis mlebu saka sathithik, saya suwé saya bisa ngalahaké dayaning agama Indhu ana ing Jawa Wétan. Mungguh kaananing tanah Sundha ing wektu iku ora pati kasumurupan. Sawisé krajan Tarumanagara dhèk abad 4 lan 5, mung ana kang kacarita krjan Sundha ing tahun 1030 nagarané kira kira ing Cibadhak. Enggoné ora ana wong manca kang mlebu mrono, marga saka kehing bajag kang padha nganggu gawé ing sauruting pasisir. Ing Priyangan sisih wétan ana krajané aran Galuh, kang ngadegaké ayaké ratu aran Pusaka, ratu liyané jejuluk Wastukencana lan Prabu Wang(g)i. ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegaké kutha anyar aran Pakuan (Batutulis). Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangaké manawa Sang Prabu yasa segaran. 18Pajajaran semuné krajan rada gedhé lan ngerèhaké Cirebon barang. Pérangan Kang Kaping Pindho Babad Tanah Jawa Wiwit Adegé Karajan Karajan Islam lan Tekané Bangsa Europa tumekané Gempale Karajan Mataram lan Ambruké Vereenigde Oost indische Compagenie (VOC) tahun 1500 – 1799 Pérangan Kang Kaping Pindho Bab 1 Karajan Demak lan Karajan Pajang +/- tahun 1500 – 1582 Wiwitané ing Tanah Jawa ana agama Islam ing antarané tahun 1400 – 1425. Ing tahun 1292 ing tanah Perlak ing pulo Sumatra wis ana wong Islam; ing tahun 1300 ana wong Islam manggon Samudra Paséi. Ing pungkasané abad kang ping 14 ing Malaka iya wis ana wong Islam. Tekané padha saka Gujarat. Saka Malaka kono agama islam mencar marang Tanah Jawa, tanah Cina, Indhiya Buri lan Indhiya Ngarep. Kang mencaraké agama Islam ing Tanah Jawa dhisike yaiku saudagar Jawa saka Tuban lan Gresik, kang padha dedagangan ing Malaka, padha sinau agama Islam, dadiné Islam terkadhang sok kepeksa. Sudagar sudagar jawa mau padha bali marang Tanah Jawa Wétan, sudagar Indhu lan Persi uga ana sing teka ing kono lan nuli mencaraké agama Islam marang wong wong. Sing misuwur yaiku: Maulana Malik Ibrahim (wong Persi?), séda ana ing Gresik ing tahun 1419, nganti saiki pasareané isih. Bareng kuwasané karaton Majapait saya suwé sya suda, para bupati ing pasisir rumangsa gedhé panguwasané, wani nglakoni sakarep karep. Para bupati mau lumrahè wis padha Islam wiwit tumapaking abad kaping 16 (tahun 1500 – 1525), Jalaran saka iku kerep baé perang karo para raja agama Indhu kang manggon ing tengahing Tanah Jawa. Miturut carita: Sang Prabu Kertawijaya ing Majapahit iku wis tau krama karo putri saka ing Cempa (tanah Indhiya Buri). Putri mau kapernah ibu alit karo Radèn Rahmat utawa Sunan Ngampel (sacedhaké Surabaya). Sunan Ngampel kagungan putra kakung siji, asma Sunan Bonang, lan putra putri siji, asma Nyai Gedhe Malaka. Nyai Gedhe Malaka iku marasepuhe Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun, yaiku kang sinebut: Sultan Demak kang kapisan. Sunan Ngampel lan Sunan Bonang iku dadi panunggalané para wali. Para wali mau kang misuwur: Sunan Giri (sakidul Gresik), ana ing kono yasa kedhaton lan mesjid; Ki Pandan Arang (ing Semarang) lan Sunan Kali Jaga (ing Demak). Ing tahun 1458 ing Demak wis ana mesjid becik. Padha padha bupati ing pasisir pati Unus iku kang kuwasa dhéwé. Pati Unus uga kasebut Pangéran Sabrang Lor. 20.Iku putrané Radèn patah utawa Panémbahan Jimbun. Ing tahun 1511 Pati Unus mbedhah Jepara, Ing tahun 1513 nglurugi Malaka. Enggoné tata tata arep nglurug mau nganti pitung tahun lawasé. Lan bisa nglumpukaké prau kehe nganti sangang puluh lan prajurit 12.000, apadéné mriyem pirang pirang. nanging panémpuhe bangsa Portegis ing Malaka nggegirisi, nganti Pati Unus kapeksa bali lan ora oleh gawé. Pati Unus ing tahun 1518 uga ngalahaké Majapait nanging Majapait dhèk samana pancèn wis ora gedhé. Kuthané ora dirusak, mung pusaka kraton banjur digawa menyang Demak sarta Pati Unus ngaku nggentèni ratu Majapait. Ing tahun 1521 Pati Unus séda isih enem lan ora tinggal putra. kang gumanti rayi let siji yaiku Radèn Trenggana, jalaran rayiné tumuli: Pangéran Sekar Séda Lèpèn, wis disédani putrané raden Trenggana, kang aran Pangéran Mukmin. sajroning jumenengé Sultan Trenggana (tahun 1521 – 1550) karaton Demak kuwasa banget, nguwasani Tanah Jawa Kulon, ngerèh kutha kutha ing pasisir lor lan uga mbawahaké jajahan Majapait, sarta karaton Supit Urang (Tumapel) uga banjur kaprentah ing Demak. Déné Blambangan iku bawah Bali. Pelabuhan bawah Demak akèh sing ramé, kayata: Jepara, Tuban, Gresik lan Jaratan. Gresik lan Jaratan iku sing ramé dhéwé, wong kang manggon ing kono luwih 23.000. Ing tahun 1546 Sunan Gunung Jati kalawan Sultan Trengganaq arep mbedhah Pasuruwan. Kutha Pasuruwan banjur kinepung ing wadya bala, nanging durung nganti bedhah, pangepungé diwurungaké, jalaran Sultan trenggana séda cinidra déning sawijining punakawan santana, kang mentas didukani. Putrané Sultan Trenggana akèh. Putra putriné padha krama oleh priyayi gedhé gedhé. Ana sing krama oleh bupati ing Pajang, kang asma: Adiwijaya, yaiku Mas Krèbèt, Ki jaka Tingkir utawa Panji Mas. Putrané Sultan Trenggana loro: Pangéran Mukmin utawa Sunan Prawata, lan Pangéran Timur, kang ing besuké dadi adipati ing Madura. Sunan Prawata iku kang nyedani Pangéran Sekar Séda Lèpèn. Ing semu putrané Pangéran Sekar Séda Lèpèn kang asma Arya Panangsang arep malesaké sédané kang rama. Sakawit Arya Panangsang nyedani Pangéran Mukmin sagarwané, nuli putra mantuné Sultan Trenggana, ora oleh gawé, malah Arya Panangsang bareng dipapagaké perang, kalah nemahi pati. Adiwijaya banjur nguwasani Tanah Jawa: amboyong pusaka kraton menyang Pajang lan nuli dijumenengaké Sultan déning Sunan Giri. nalika Adiwijaya jumeneng ratu ana ing Pajang, blambangan lan Panarukan kabawah ratu agama Syiwah ing Blambangan, kang uga mbawahaké Bali lan Sumbawa (tahun 1575). Jajahan jajahan ing Pajang kaprentah ing pangéran (adipati) yaiku: Surabaya, Tuban, Pati, Demak, Pemalang (Tegal), Purbaya (madiyun), Blitar (Kedhiri), Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedhu sisih kidul kulaon, sakuloné bengawan Sala. Ana ing tanah Pasundhan karaton Pajang meh ora duwè panguwasa, jalaran ing tahun +/- 1568 tanah Banten dimerdikakaké déning Hasanuddin, dadi tanah kasultanan. 21.Pérangan Kang Kaping Pindho Bab 2 Karajan Mataram Nalika Jumenengé Sénapati (tahun 1582 – 1601) Ana wong linuwih sinebut Kyai Gedhe Pamanahan, asale mung wong lumrah baé. Jalaran saka akèh lelabuhané marang Sultan Pajang, banjur didadèkaké patinggi ing Mataram. Nalika iku tanah Mataram durung reja lan Pasar Gedhe, padunungané Kyai Pamanahan mau isih awujud désa. Putrané Kyai Gedhe Pamanahan kang asma Sutawijaya utawa Radèn Bagus, utawa Pangéran Ngabehi Loring Pasar iku dipundhut putra angkat déning Sultan Pajang lan nganti diwasa tansah ana ing kraton , dadi mitrané Pangéran Pati yaiku Pangéran Banawa. Ing tahun 1575 Sutawijaya gumanti kang rama ana ing Mataram, oleh jejuluk Sénapati Ing Ngalaga Sahidin Panatagama. Panémbahan Sénapati (Sutawijaya) mau banget ing pangarahè supaya bisa jumeneng ratu. Ing sasi Mulud ora ngadhep marang Pajang, lan Pasar Gedhe didadèkaké bètèng, ndadèkaké kuwatire Sultan Adiwijaya. Kelakon ora suwé banjur peperangan, Adiwijaya kalah lan ing tahun 1582 séda jalaran karacun. Pangéran Banawa ora wani nglawan Sénapati. Sénapati banjur ngaku jumeneng Sultan, sarta pusakaning kraton kaelih marang Mataram. Sénapati ngerèhaké Mataram ing tahun 1586 – 1601. Jajahan jajahan karaton Pajang kang wis kasebut ndhuwur kaerèhaké ing Mataram kanthi ngrekasa banget. Sénapati kepeksa kudu kerep perang, kayata: perang karo Panaraga, Madiyun, Pasuruwan lan luwih luwih karo Blambangan. Ewadéné Blambangan iku ora bisa kalah babar pisan. Karo Sénapati memitran. banten arep ditelukaké, nanging ora bisa kalakon. Galuh pineksa kareh Mataram. Ing nalika iku akèh kutha kutha pelabuhan kang ramé, padha ditekani wong Portegis, ora lawas wong Walanda iya padha nekani ing kono. Dedagangané mrica, pala , cengkeh, kapas lan barang barang liyané akèh, nanging bab kawruh lan kagunan ora pati diperduli. Ing tahun 1601 Sénapati séda, kang gumanti putraL Mas Jolang. Pasareyan Sénapati nunggal kang rama ana ing Pasar Gedhe sarta padha pinudi pundhi. Pérangan Kang Kaping Pindho Bab 3 Karajan Banten lan Cirebon wiwit jumenengé Sunan Gunung Jati (+/- tahun 1527) tumeka Sédané maulana Mohamad (tahun 1596) Ing wiwitané abad kang ping 16 ing Tanah Jawa Kulon ana nagara aran Pajajaran, Kutha aran Pakuan. Kutha pelabuhab iya duwè, yaiku Banten lan Sundha Kalapa, nanging dedagangané durung ramé. Awit saka Malaka ing tahun 1511 kacekel ing bangsa Portegis, para sudagar Islam padha dedagangan ana ing pasisiré lor Tanah Jawa Kulon. Ing Banten nuli ana pedagangan gedhé, dagangané mrica. Ing nalika iku ana wong Paséi (Sumatra), agamané Islam, teka ing Tanah Jawa Kulon merangi ratu ing Pejajaran nganggo prajurit saka ing Demak. Wong Paséi mau ing tembéné aran Sunan Gunung Jati, mauné bok menawa aran Faletehan. Iku ipené Radèn Trenggana. Marga saka pitulungané Radèn Trenggana ing tahun 1527 bisa mbedhah Sundha Kalapa (jayakarta utawa Jakarta) lan Cirebon. Ing tahun 1552 Sunan Gunung Jati ing Banten digenteni kang putra Hasanuddin. Déné putra liyané kang asma Pangéran Pasarean, iku kang nurunaké para Sultan ing Cirebon. Faletehan séda ing tahun 1570 ana ing Cirebon lan disarekaké ana ing punthuk Gunung Jati. Kutha Pakuan bedhahè sawisé tahun 1570. Para wong ing Tanah Jawa Kulon banjur dipeksa manjing agama Islam. malika Faletehan séda kang jumeneng Sultan ing Cirebon Panémbahan Batu, yaiku buyute faletehan mau. Hasanuddin iku krama oleh putriné Pangéran Trenggana. Bareng Pangéran Trenggana séda, karaton Banten banjur madeg dhéwé (tahun 1568). Hasanuddin uga nelukaké Lampung, sarta raja Indrapura ngaturaké putrané putri minangka garwa. Kutha Banten dadi ramé lan pelabuhané gedhé. Ananging kutha urut pasisir ana 750 M, déné ujure marang daratan +/- 1600 M. Prau prau bisa lumebu ing kutha metu ing kali kang nrajang kutha mau; saiki kaliné wis waled, jalaran wedhi. Kutha mau kang sasisih dipageri lan ana gerdhu gerdhuné panggonan prajurit jaga tuwin panggonan mriyem. Hasanuddin séda ing tahun 1570, banjur kasarekaké ing Sabakingking. Kang gumanti kaprabon Pangéran Yusup. Nalika iku wong Banten yèn nandur pari lumrahè ana ing pategalan (ladhang). Sawisé dienèni pariné banjur ora ditanduri manèh, wong wongé banjur golèk panggonan liya digawé ladhang, yèn wus panén iya diberakaké manèh, enggoné nanduri iya kaya kang wis mau. Sing kaya mangkono iku tumraping lemahè mesthi baé ora becik. Bareng Pangéran Yusup jumeneng Sultan, wong wong padha didhawuhi sesawah. jalaran saka iku wong tani iya kapeksa milih panggonan sing tetep, ora pijer ngolah ngalih, iku njalari anané désa désa. Pangéran Yusup uga dhawuh yasa bendungan lan susukan susukan perlu kanggo ngelebi sawah. Sing mbedhah kutha Pakuan iku iya Pangéran Yusup. Ratu ing Pakuan séda, para luhur ing kono kapeksa mlebu Islam. sawènèh ana sing ngungsi marang pagunungan ing Banten Kidul; wong Beduwi iku turuné wong wong sing padha ngungsi mau. Pangéran Yusup lumrahè karan Pangéran Pasareyan (tunggal jeneng karo kang paman ing Cirebon). Ing sasédané Pangéran Yusup, Pangéran Jepara utawa Pangéran Arya anjaluk jumeneng Sultan, nanging ora bisa kelakon, jalaran saka setyané Mangkubumi (Patih) ing Banten marang Pangéran Yusup. Kang gumanti Pangéran Yusup, putra kang sisilih Maulana Mohamad. nalika iku yuswané lagi 9 tahun, mulané nganggo diembani ing Mangkubumi. Sing maréntah kutha Jakarta sebutan Pangéran, dhisike Ratu Bagus Angke lan tumurun marang putra. Kutha mau kinubeng ing pager, ing jeroné pager ana mesjide omah gedhé sing didalemi sang Pangéran, alun alun lan pasar. Iku mau kabèh dumunung ing pusering kutha. Dagangané ora pati ramé kaya ing Banten. Tanah tanah sakubengé kutha isih kebak buron alas. Cirebon iku uga ngreka daya bisané mardika saka Banten. Sultan Cirebon mbawahaké saperangané tanah Priyangan. Watesé kang wétan Banyumas, kang kulon Cimanuk (Citarum),. bareng sepuhe, Pangéran Mohamad ditresnani ing kawula, jalaran saka mursid lan wasis. Sang papatih Jayanagara banget setya marang ratuné. nalika iku Sultan Mohamad diaturi nglurugi Palembang déning Pangéran Mas, wayahè Sunan Prawata, Sandyan patihe malangi, nanging Sultan Mohamad ngrujuki; kalakon ing tahun 1596 Palembang dilurugi. Wadyabala ing Banten wis ngira bakal menang, dumadakan nalika Sultan Mohamad pinuju dhahar, kataman ing mimis, ndadèkaké sédané. Sédané mau digawé wadi, mung wadyabala diundangi bali marang Banten. Bareng layon arep disarekaké, ing kono wong wong lagi ngerti yèn Sultan séda, lan ing wektu iku uga Pangéran Abulmafachir dijumenengaké Sultan, nanging yuswané lagi sawatara sasi, mulané pamaréntahing nagara kacekel ing Mangkubumi, manèh dibantoni ing Nyai Emban Rangkung, kang jalaran saka wicaksanané karan: Ratu Putri Ing Banten. Ing pungkasané abad kang ping 16 Banten iku dadi kutha pedaganagn kang ramé dhéwé ing saTanah Jawa. Wong manca kang ana ing kono: wong Persi, wong Indhu saka Gujarat, wong Turki, Arab, Portegis, Melayu lan wong Keling. Wong wong ngamanca mau lumrahè ngingu batur tukon lan juru basa. Luwih luwih wong Cina, ing Banten akèh banget. Bangsa Cina manggoné ana sajabaning temboking kutha, lan omahè apik apik. Panggaotané wong manca padha kulak mrica. Sing nganakaké dhuwit timbel (kètèng, gobang) ing Banten iya wong wong ngamanca mau. Dhuwit timbel 1.00 pengajiné +/- 20 sèn. Pangan ing Banten murah banget, dhuwit 20 sèn baé tumraping wong ngamanca, wis turah turah. Hawané ing kutha ora becik, jalaran kali Banten ing biyèné becik, banjur dadi cethek lan reged. Dalan dalan pada kurugan ing wedhi, omah omahè isih gedhég, mung senthongé pasimpenan wis tembok. Para priyayi padha duwè pakarangan isi wit krambil, sangarepe omah ana pendhapané lan ing pojoking latar sok ana langgare. Kejaba mesjid gedhé lan pamulangan, ing Banten mung ana omah gedhong siji, yaiku omahè Syahbandar. kajaba para luhur, wong kang ngibadah ing Banten ora akèh. Para luhur padha ngagem sarung sutra, (terkadhang sinulam ing benang emas) serban lan keris, kenakané diingu dawa, wajané dipasahi lan tinretes ing mas utawa disisigi. Ngageme sepatu utawa selop mung yèn ana ing daleme baé. Pandereke ana sing ngampil wadhah kinang, kendhi, payung, lampit lan tumbak. Para luhur mau (para punggawa) padha milu ngerèh praja. Ing mangsa perang para prajurit oleh keré, sandhangan lan pangan. Para punggawa mau padha ngingu batur tukon akèh. Ing Banten sing nyambut gawé temenan mung para batur tukon, wong cilik liyané meh ora nyambut gawé, mulané padha ora kacukupan. Yèn ana wong ora bisa mbayar utangé, iku banjur dadi batur tukon saanak bojoné. Wong kemalingan ing Banten akèh; maling kang kacekel, kena nuli dipatèni. Wong kang dosa pati, kena nebus dosané sarana mbayar dhendha marang Sultané. Yèn ana wong lanang mati, Sultan wenang mundhut anak bojoné wong mau. Jalaran saka iku akèh wong isih kenomen padha omah omah. Kuwasané Sultan Banten gedhé banget, nanging prakara nagara lumrahè dirembug karo para luhur; pangrembuge wayah bengi ana ing alun alun. Para luhur mau kang kuwasa banget Mangkubumi (patih), laksamana (panggedhéné prau lautan) lan sénapati. Ing jaman samana kaanané kutha kutha ing Tanah Jawa kurang luwih iya mèmper karo kutha Banten iku. Prauné Vasco de Gama Pérangan Kang Kaping Pindho Bab 4 Wong Portegis lan Sepanyol (tahun 1513) Wiwit jaman Rum mula wong Asia iku wis wiwit lawanan dedagangan lan wong Europa. Dagangan saka Asia Wétan, kayata: Tanah Indhu, Cina, apadéné kapulowan Moloko digawa ing kafilah, metu ing Afganistan, Persi, Syrie (Sam), banjur menyang Egypte (Mesir), jujuge ing Alexandrie. Dagangan mau saka kono banjur dikirimaké menyang kutha kutha pelabuhan ing sapinggire Sagara Tengah, kayata: Rum, vénétie lan Genua; banjur disebaraké ing nagara liya ing Europa. lakuné kafilah saka Hindustan ngrekasa banget, jalaran ana ing dalan kesuwén, mangka kerep diadhang ing begal. marga saka iku pametuné tanah Asia ana ing Europa dadi larang banget, samono uga bumbon saka kapulowan Moloko. Bareng wong turki mèlu mèlu gawé kasusahaning kafilah mau, bangsa bangsa Europa liyané banjur arep mbudi akal bisané oleh dagangan saka tanah Asia dhéwé ora nganggo metu dharatan, dadi arep ngambah sagara baé. nalika abad kang kaping 15 ing tanah Europa wus ana bangsa kang kendel banget lelayaran, yaiku bangsa Portegis. Bangsa iku enggoné lelayaran saya suwé saya mangidul, nganti nemu pulo lan tanah pirang pirang enggon, wasana pasisiré tanah Afrika kang sisih lor kulon wus kawruhan kabèh. Ing tahun 1486 ana nakoda bangsa Portegis aran Bartholomeus Dias, bisa tekan ing pongole buwana Afrika kang sisih kidul dhéwé. Ing Tahun 1498 kelakon ana nakoda Portegis aran Vasco de Gama tekan ing Kalikut kutha ing tanah Indhu. Wong Portegis nuli miwiti lelawanan dedagangan lan wong Indhu, lan nenelukaké kutha pelabuhan kang ramé ramé ing tanah Indhu kono. d’Albuquerque kang wus katetepaké jumeneng Prabu anom ing Asia nuli ngumpulaké prau perang kanggo merangi kutha kutha pelabuhan; Goa, Ormus lan Malaka genti genti dikalahaké. Iya jamané d’Alburquerque (tahun 1509 – 1515), iku mumbul mumbule wong Portegis nguwasani tanah tanah pasisir ing Samodra Indhiya tekan Macao. Bareng wong Portegis wis bisa manggon lan duwè panguwasa ana ing Malaka, ing tahun 1513 nuli makoda aran d’abreu, layar menyang Moloko. lakuné nganggo mampir mampir, kayata: menyang Gresik. Ing wektu samono Gresik wis dadi kutha padagangan gedhé, wong wongé wis Islam. Wong Portegis mau ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan sasat tansah dimungsuh baé, mung ana ing Panarukan bisa mimitran lan wong bumi, jalaran wong ing kono osoh mardika, durung Islam lan durung kaerèh marang Demak. Rèhné wong Portegis ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan tansah ngrekasa banget, mulané banjur ana kang nyoba arep lelawanan dedagangan lan Banten. Ing sakawit ana ing Banten ditampani becik, nanging nuli wong Portegis lan wong Banten kerep cecongkrahan, jalaran padha déné ora percayané. Wasana enggoné dedagangan wong Portegis kang dipeng ana ing Moloko lan pulo Timur. nalika wong Portegis teka ana ing tanah Indhiya kang anggedhéni laku dagang ing kepulowan Moloko bangsa Jawa, nanging bareng Malaka bedhah, wong Jawa kadhesuk soko kono lan saka kapulowan Moloko, banjur karingkes pasabané, kang anggedhéni genti wong Portegis, malah ing tahun 1522 ing Ternate wis didegi bètèng, sarta wong Portegis wis prajangjian lelawanan dedagangan ijen ijenan (monopolie) lan Sultan ing kono. Ing tembené kang dadi dhok dhokané wong Portegis ing Ambon lan Bandha. Ana ing pulo pulo Moloko lan ing pulo pulo Sundha Cilik sisih wétan wong Portegis padha mencaraké agama Kristen. Bareng wong Portegis nemu dalané menyang tanah Indhiya, wong Sepanyol iya banjur arep nyoba uga menyang tanah Indhiya dhéwé. Wong Genua aran Christophorus Columbus layar saka Sepanyol mangulon atas asmané Sang nata ing Sepanyol. Saka panémuné Chr. Columbus wus tetéla yèn jagad iku bunder kepleng, dadi yèn saka Sepanyol terus layar mangulon mesthi banjur tekan ing jagad sisih wétan yaiku enggoné tanah Indhiya. Yèn saka Indhiya diterusaké mangulon baé, mesthi banjur bali tekan ing Sepanyol manèh. Ing tahun 1492 kelakon Chr. Columbus nemu kepulowan kang diarani kapulowan Indhiya, jalaran pametuné akèh empere lan tanah Indhiya, nanging ora antara suwé tetéla yèn kepulowan mau dudu Indhiya, mulané mung banjur diarani kepulowan Indhiya Kulon. mungguh satemené kepulowan Indhiya Kulon iku wewengkoné buwana Amerika. Saking kepenginé marang kauntungan lan misuwuring jeneng, banjur akèh baé wong Sepanyol kang napak dalané Chr. Columbus padha layar mangulon ketug ing Amerika. Sawisé buwana Amerika kawruhan, nuli ana wong Portegis kang aran Magelhaen kang nedya menyang Indhiya metu Amerika atas asmané ratu Sepanyol. Mangkate Magelhaen sakancané wong Sepanyol ing tahun 1519 lakuné nurut pasisiré Amerika sisih kidul, njebul supitan ing saantarané pongol Amerika kang kidul dhéwé lan pulo Vuurland, saka kono terus ngalor ngulon nrajang Samodra gedhé, anjog ing kapulowan Filipina. Wong Sepanyol nuli layar menyang Moloko, anjog ing Tidore. Sultan Tidore bungah banget, awit bakal olej lengganan bangsa Europa, mangka nalika d’Abreu teka ing Ambon diajak lengganan ora gelem, geleme mung karo Sultan Ternate. Sarèhné wong Sepanyol, kancané Magelhaen, kalah santosa karo wong Portegis, mulané bareng dimungsuh, banjur kapeksa mlayu menyang Jilolo, saka kono terus layar mangulon, nutugaké enggoné ngubengi bumi, tekané ing Sepanyol manèh tahun 1522. Iya wong Sepanyol kang dipanggedhéni Magelhaen iku kang ngubengi bumi sapisan. Wong Portegis bareng sumurup ana wong Sepanyol teka, banget panasé, ngudi, lungané wong Sepanyol saka tanah Indhiya, dadi bangsa loro mau padha memungsuhan. nanging ing tahun 1529 padha bedhami, jalaran watesing jajahan dipastekaké déning Kangjeng Paus. Wiwit tahun 1542 bangsa Sepanyol neluk nelukaké pulo pulo Filipina. Jeneng Filipina iku kapirit asmané ratu ing Sepanyol (Filips II). lan ana ing pulo pulo mau banjur padha mencaraké agama Kristen. Pérangan Kang Kaping Pindho Bab 5 Tekané Wong Walanda ( tahun 1596) Ing abad kang kaping 15 ing nagara Walanda bab misaya iwak maju banget ( iwak haring). Iwaké didol sumrambah ing tanah Europa. Jalaran saka iku lelayarané prau prau momot barang dadi ramé. Prau prau momotan mau kejaba momot iwak, uga nggawa barang barang liyané, kayata: mertega, keju lan laken saka Nederland didol menyang Europa sisih lor lan kidul. Soko Portegal wong Walanda kulak anggur lan uyah; saka tanah tanah sapinggire Sagara Wétan gandum lan kayu, lan saka Inggris wulu wedhus. Awit saka iku kabèh lelayarané prau prau momotan ing satanah Europa kacekel ing tangané bangsa Walanda. Ing wiwitané abad kang ping 16 Kutha Lissabon dadi pusering padagangan kang saka ing tanah Indhiya. Kang mencaraké dagangan mau menyang tanah tanah liyané saperangan gedhé iya bangsa Walanda. Iku kabèh njalari wong Walanda banjur dadi sugih, wong lang mauné mung ngepalani prau prau momotan, banjur dadi nakoda utawa sudagar. Ing pungkasané abad 16 wong Walanda banget pangudiné marang ada ada anyar lan banget kepenginé marang lelakon lelakon kang durung tau dilakoni, luwih luwih bareng krungu critané lelayaran marang Indhiya saka wong wong Walanda kang mauné manggon ing Portegal. Apa manèh ing nalika iku akèh sudagar sudagar saka Nederland Kidul (Antwerpen) padha ngalih mangalor. Kuwasané karajan Sepanyol tansah suda, perang karo bangsa Walanda lan Inggris kerep kalah. Dedagangan ing Lissabon tumrape bangsa Walanda banjur diengèl engèl amarga wiwit ing tahun 1580 Lissabon kebawah Sepanyol. Jalaran saka sebab sebab ing ndhuwur mau kabèh, bangsa Walanda kenceng tekade arep lelayaran menyang tanah Indhiya dhéwé, bathiné mesthi bakal luwih akèh, awit bisa kulak dedagangan saka ing panggonané asal. Wiwitané nuoba lelayaran metu lor ngubengi buwana Asia, perluné nyingkiri bangsa Sepanyol, yaiku mungsuhe. Sarèhné layar metu lor iku terang yèn rekasa banget, istingarah ora bisa kelakon tekan tanah Indhiya, nuli wong Walanda arep nékad metu kidul nurut pesisire buwana Afrika kaya wong Portegis. Cacahing prau kang arep mangkat ana 4, kang ngepalani aran Cornelis de Houtman iku wis bisa oleh katrangan dalané menyang Indhiya ana ing Lissabon. Déné kang dadi lelurahing jurumudhi wong pinter ing ngèlmu bumi aran Pieter Keyzer. Ing tanggal 2 April tahun 1595 padha mancal saka dharatan, lakuné ana ing dalan ngrekasa banget, nanging tanggal 23 Juni 1596 kelakon tumeka ing banten. Satekané ing palabuhan Banten prauné wong Walanda dirubung ing prau cilik cilik padha nawakaké wowohan lan dodolan warna warna. Ora suwé ing dhèk kebak wong Jawa, Arab, Cina, Keling lan Turki padha nawakaké dedagangan. Wong Walanda medhun menyang dharatan; ing kono wis ana cawisan omah kanggo bukak toko. Sawusé tekan dharatan banjur dodolan lan kulak dedagangan kang diimpi impi, yaiuku mrica. Nanging bareng padha rerembugan banjur padha pasulayan. Wong Portegis weruh kang mangkono iku nuli ngreka daya supaya wong Walanda disengiti ing wong Banten. Apamanèh Cornelis de Houtman iku wani kasar karo Mangkubumi ing Banten, lan sarehning wong Banten kuwatir bok manawa kutha Banten bakal ditibani mimis saka ing prauné wong Walanda, Cornelis de Houtman sakancané 8 dicekel lan dilebokaké ing kunjara. Cornelis de Houtman lan kancané 8 pisan mau iya nuli luwar, nanging sarana ditebus. Bareng wong Portegis mbabangus manèh marang wong Banten, wong Walanda banjur ninggal Banten, awit uga weruh yèn ora bakal bisa oleh dedagangan ana ing kono. Wong Walanda banjur layar mangétan urut pasisir loring Tanah Jawa nganti tekan Bali. Saka kono banjur bali menyang nagara Walanda urut pasisiré Tanah Jawa kang sisih kidul. Tekané ing nagara Walanda prauné kang mauné papat mung kari telu, wong kang mauné 248 mung kari 89. Lan barang dagangan sing digawa apadéné bathiné mung sathithik banget. nanging sedyané kang gedhé iku wis kaleksanan, iya iku saiki dalan kang menyang tanah Indhiya wis kawruhan. nalika tahun 1598 ana prau Walanda manèh teka ing Banten, kang manggedhéni Yacob van Neck. Sarèhné van Neck mau wong kang alus bebudéné ora kasar kaya de Houtman, dadi wong Walanda ditampani kalawan becik, dipek atiné kenaa dijaluki tulung yèn ana nepsuné wong Portegis, malah van Neck oleh palilah katemu lan sang timur Abulmafachir ratu ing Banten lan van Neck ngaturi tinggalan tuwung mas. Wong Walanda enggal baé oleh dedagangan mrica akèh. Wiwit ing nalika iku akèh prau prau Walanda kang teka ing Moloko kulak mrica, pala lan cengkeh. Dhok dhokané prau kang menyang tanah Indhiya iku ing Banten, dalasan prau kang saka ing Moloko, sanadyan wus kebak dagangan, kang mesthi iya nganggo mampir. Suwe suwé plabuhan ing Banten saya ramé déning prau Walanda kang teka lunga ing kono. Ing wektu iku Sepanyol lan Portegis wiwit ngêdhèng enggoné perang karo bangsa Walanda ing tanah Indhiya. Andreas Furtadho de Mendoca nggawa prau 30 saka Goa layar menyang tanah Indhiya, arep dhedawuh marang para panggedhé ing sakèhing kutha plabuhan nglarangi nampa wong Walanda; sakèhing wong Walanda kang wus ana ing kono kudu ditundhung. Ing tahun 1601 ana prau Walanda teka ing supitan Sundha, kang manggedhéni Wolphert Harmens, ana ing dalan Wolpert Harmens wis oleh pawarta yèn Banten dikepung ing balané Furtadho perlu nglungakaké wong Walanda lan meksa marang Pangéran ing Banten ora kena ngayomi sakèhing Walanda. Sandyan prauné Harmens mung lima, nanging nékad nempuh prauné wong Sepanyol. Salungané wong Sepanyol saka ing Banten, Harmens mlebu ing plabuhan munggah menyang kutha. Ora antara suwé ana prau Walanda teka manèh, panggedhéné aran Yacob van Heemskerck enggal baé oleh dedagangan, prauné kang lima wis kebak, nuli dilakokaké bali menyang nagara Walanda, déné prau sakariné banjur layar menyang Gresik. Ana ing Gresik kono Heemskerck sawisé kebak prauné banjur bali menyang nagara Walanda. Ing wektu iku para sudagar Inggris iya wis padha bathon nglakokaké prau menyang tanah Indhiya. Ing tahun 1602 ana prau Inggris teka ing plabuhan Banten nggawa layang lan pisungsung saka ratuné. Wong Inggris ditampani kalawan becik, dadi gampang nggoné golèk dagangan, sarta banjur kaidenan ngedegaké kantor. Prau – prauné Houtman saka ing tanah Walanda Pérangan Kang Kaping Pindho Bab 6 Adegé Vereennidge Oost Indische Compagnie (V.O.C.) ( tahun 1602) Prauné wong Walanda kang padha layar menyang tanah Indhiya iku duwèké maskape maskape cilik. Sanadyan kang nduwèni tunggal bangsa lan kabèh padha tulung tulungan yèn ana bebayaning dalan, ewa déné mungguh enggoné dedagangan ora pisan bisa rukun, malah padha jor joran murih bisa oleh dagangan akèh. bareng paprentahan luhur ing negara Walanda nguningani prakara iku banjur kagungan sumelang. Saka karsané paprentahan luhur maskape Walanda mau didadèkaké siji aran Vereennidge Oost Indische Compagnie (V.O.C.), yaiku: Pakumpulan dedaganagn ing tanah Indhiya Wétan, adegé nalika tanggal 20 Maret 1602. VOC. mau diparingi wewenang dedagangan ing sawétané Kaap de Goede Hoop tekan ing supitan Magelhaens, déné maskape utawa sudagar liya ora kena mèlu mèlu dedagangan ing kono (monopolie). Wewenang panunggalané ing dhuwur iku: VOC. kena nganakaké prajangjian atas asmaning Staten Generaal karo sakèhing nagara klebu jajahané. Kajaba iku Compagnie kena nganakaké prajurit, gawé bètèng, gawé duwit lan netepaké Gouverneur lan punggawa liyané. Sakèhing punggawa kudu sumpah kasusetyané marang Straten Generaal lan pangrehing Compagnie. Ing sabisa bisa VOC, kudu mèlu nglawan mungsuhe nagara Walanda. Pawitané Compagnie iku olehe adol layang andhil, siji sijiné andhil ora mesthi padha regané, ana kang f10.000 ana kang f50. Déné kang kena tuku andhil mau iya sadhengah wong, ora lawas VOC wus oleh pawitan f6.500.00. Ing sakawit warga pangreh (Bewindhebber) ing tanah Walanda ana 73, nanging ora lawas mung ditetepaké 60. Para bewindhebber mau akèh kauntungané, kayata: saben ana prau teka saka tanah Indhiya mesthi oleh bageyan 1% né ajining momotané prau, mulané pangkat bewindhebber mau dadi pepenginan. Bewndhebber iku ana 17 kang pinilih kuwajiban nyekel paprentahan Compagnie ing saben dinané. Pangrehe Compagnie iku aran ”Heren XVII, Directeuren utawa Mayores”. Saben 10 tahun para Bewindhebber kudu aweh katrangan pelapuran (verslag) bab panyekeling paprentahan marang Straten Generaal lan para aandeelhouder. Prau prauné Compagnie kang dhisik dhéwé mangkat menyang tanah Indhiya dipanggedhéni Van Waerwijck, angkate ing tahun 1602 uga. Sakèhing lojiné maskape maskape lawas banjur didadèkaké lojiné VOC. Loji utawa factorij iku wujud kantor diubengi ing gudhang gudhang lan omahè para punggawa. Mungguh perluné loji mau kanggo tandhon dagangan. Dagangan mau diklumpukaké ngentèni tekané prau prau. Factorij iku terkadhang kinubeng ing bètèngtembok utawa tanggul, nanging kang mangkono iku ora mesthi, awit para ratu bangsa bumi kerep ora marengaké. Kehing factorij saya wuwuh, nanging terkadhang yèn arep ngadegaké factorij anyar iku nganggo ngesur ngalahaké wong Portegis dhisik, kayata: nalika tahun 1603 ana ing Banten, ora lawas ing Gresik, Johor, Patani, Makasar lan Jepara iya dianani factorij. Factorij ing Patani perluné kanggo lelawanan karo negara Cina, Jepang lan Indhiya Buri, awit dikira ngolehaké kauntungan akèh, nanging jebul ora. Karo Ceylon lan Aceh Compagnie iya lelawanan dedagangan, nanging sakawit mung sathithik pakolehe. Dagangan tanah Indhiya kang ngolehaké kauntungan akèh iya iku bumbu craken, mulané VOC. kepengin banget mengku kapulowan Moloko, kang iku para nakoda padha diwangsit, supaya merlokaké ngudi bisané nekem kepulowan bumbon craken mau, yèn ora kena dilusi sarana prajangjian iya kantho wasésa. Ing saenggon enggon angger Compagnie bisa becik karo ratu bangsa bumi mesthi banjur nganakaké prajangjian bisané lengganan ajeg (monopolie). Pulo Ambon (cengkeh) iku pulo kang dhisik dhéwé dadi duwèking Compagnie. Ora suwé saka kecekele pulo Ambon ing kuwasané VOC. pulo Bandha Néra (pala) lan Bacan iya banjur kena diregem. Marga enggoné menang perang iku, laku d
Diposkan oleh SekarKawindra
Sumber: http://hnthebraveheart.blogspot.com/